Global Warming Tak Ancam 5 Hewan Ini, Justru Picu Semakin Berkembang Biak

Tak semua efek global warming jadi ancaman bagi makhluk hidup. Sejumlah hewan ini justru populasinya bertambah ketika suhu bumi meningkat.

oleh Teddy Tri Setio Berty diperbarui 28 Sep 2018, 19:40 WIB
Diterbitkan 28 Sep 2018, 19:40 WIB
Iustrasi babi hutan (AP)
Iustrasi babi hutan (AP)

Liputan6.com, Jakarta - Global warming menjadi ancaman bagi seluruh umat manusia di Bumi. Pada 2016, suhu rata-rata permukaan Bumi mencapai rekor tertinggi selama tiga tahun berturut-turut sejak pencatatan dimulai pada 1880.

Akibat global warming, suhu rata-rata global 1,1 derajat Celcius di atas sebelum era industri dimulai. Menurut World Meteorological Organisation (WMO), angka tersebut juga 0,06 derajat Celcius lebih tinggi dibanding suhu rata-rata pada 2015.

Sebanyak 16 dari 17 rekor suhu terpanas telah terjadi pada Abad ke-21. Es di Arktik menyusut menjadi 4,14 juta kilometer persegi pada 2016 -- kedua terendah setelah 2012 dengan luas es hanya 3,39 juta kilometer.

Menurut perkiraan, Samudra Arktik akan bebas dari es di musim panas pada awal 2030. Di bagian Arktik Rusia, suhunya 6 hingga 7 derajat Celcius lebih tinggi dari rata-rata.

Di Antartika, es lautnya mencapai tingkat terendah yang pernah tercatat oleh satelit pada saat musim panas. Gletser berketinggian menjulang, mencair hingga ketinggiannya mencapai permukaan pada 2015.

Tentunya, akan ada banyak makhluk hidup yang terancam, termasuk manusia. Meski begitu, tak semua efek global warming jadi ancaman bagi makhluk hidup. Seperti sejumlah hewan ini yang populasinya justru bertambah ketika suhu bumi meningkat.

Seperti dikutip dari laman Listverse.com, Jumat (28/9/2018), berikut 5 hewan yang malah berkembang biak saat global warming terjadi:

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

1. Cephalopoda

Sotong dapat membuat tubuhnya tak terlihat dengan perubahan warna kulit yang menjadi transparan (AFP)
Sotong dapat membuat tubuhnya tak terlihat dengan perubahan warna kulit yang menjadi transparan (AFP)

Cephalopoda tergolong dalam keluarga gurita, cumi-cumi, sotong. Sama seperti yang lain, hewan ini menangkap dan memangsa target dengan tentakelnya.

Hewan ini punya ukuran kepala yang mencolok, yang dikelilingi oleh lengan atau tentakel. Hewan dalam kelompok ini hanya eksklusif hidup di air laut dan tidak ada yang mampu hidup di air tawar.

Para ilmuwan menemukan bahwa selama 60 tahun, cephalopoda (kelompok hewan yang mencakup cumi-cumi, gurita, dan cumi-cumi) telah meningkat jumlahnya.

Sebuah tim ilmuwan yang dipimpin oleh Zoe Doubleday dari Institut Lingkungan Australia di Universitas Adelaide sedang menyelidiki penurunan populasi cumi-cumi raksasa Australia di Australia Selatan. Setelah meninjau tingkat tangkapan dari 35 spesies cephalopoda antara tahun 1953 dan 2013, para peneliti menemukan bahwa alih-alih menurun, populasi cumi secara keseluruhan sebenarnya meningkat.

Hal ini dapat dikaitkan dengan kemampuan adaptasi cephalopoda yang ekstrem. Untuk mengatasi suhu pemanasan lautan, hewan-hewan ini memodifikasi ukuran dan cara reproduksinya.

 

2. Nyamuk Arktik

Ilustrasi Nyamuk (AFP)
Ilustrasi Nyamuk (AFP)

Selama abad terakhir, suhu rata-rata di wilayah Arktik telah meningkat secara dramatis. Para peneliti dari Dartmouth College memperkirakan bahwa jika kenaikan suhu terus berlanjut, itu akan sangat meningkatkan populasi nyamuk Arktik.

Peneliti dari Dartmouth menunjukkan bahwa suhu musim semi yang hangat memungkinkan nyamuk Arktik tumbuh lebih cepat dan muncul lebih awal.

Untuk lebih spesifik, setiap 1 derajat Celcius (1,8 ° F) peningkatan suhu, jumlah waktu yang dibutuhkan oleh nyamuk untuk berkembang dari larva ke tahap kepompong berkurang sebanyak 10 persen.

Pertumbuhan yang dipercepat ini memungkinkan nyamuk muda untuk menghindari kumbang menyelam, predator akuatik teratas mereka, sehingga meningkatkan kemungkinan mereka bertahan hidup.

3. Pine Beetles

Ilustrasi kumbang scarab (iStock)
Ilustrasi kumbang scarab (iStock)

Pada tahun 2008, Jeffry Mitton dan Scott Ferrenberg mengamati pohon-pohon pinus yang ditemukan di Niwot Ridge di Colorado. Saat mendaki hutan pada pertengahan Juni, mereka menemukan sesuatu yang aneh, yaitu segerombolan kumbang pinus dewasa.

Mitton, yang merupakan ahli genetika evolusi dari University of Colorado, menemukan fenomena ini aneh, karena serangga seharusnya keluar pada bulan Agustus atau September, bukan Juni.

Mitton berbagi pengamatan ini kepada rekan-rekannya, tetapi mereka segera menolak klaimnya. Bersama dengan Ferrenberg, yang merupakan mahasiswa pascasarjana pada waktu itu, Mitton menghabiskan musim panas tahun 2009 dan 2010 untuk mempelajari perkembangan kumbang pinus.

Selama studi mereka, kedua peneliti menemukan bahwa awalnya, kumbang akan berkembang secara normal. Namun, sesuatu yang luar biasa kemudian akan terjadi: Kutu akan mencapai kedewasaan dengan sangat cepat.

Pada bulan Juni, larva telah bermetamorfosis menjadi dewasa dan muncul dari pepohonan. Yang lebih menarik adalah bahwa kumbang yang muncul di bulan Juni akan segera bertelur di pohon pinus di dekatnya.

Akibatnya, pada bulan Agustus atau September, akan ada generasi lain dari kumbang pinus.

Temuan ini sangat luar biasa, karena kumbang pinus diketahui hanya bereproduksi satu kali setahun. Penelitian Mitton dan Ferrenberg menunjukkan bahwa perubahan iklim adalah faktor di balik "ledakan bayi kumbang" yang aneh ini. Suhu yang meningkat memungkinkan serangga ini "menghasilkan generasi tambahan" setiap tahun.

 

4. Bintang Laut

Ilustrasi bintang laut. (Creative Common)
Ilustrasi bintang laut. (Creative Common)

Menurut sebuah penelitian yang diterbitkan dalam Prosiding National Academy of Sciences, jumlah bintang laut mengalami peningkatan karena suhu dan tingkat karbon dioksida.

Dibandingkan dengan invertebrata lain, seperti kerang, bivalvia, dan kerang, bintang laut makan lebih banyak dan tumbuh lebih cepat pada suhu yang lebih hangat.

Para peneliti mendokumentasikan bahwa bintang laut dimasukkan ke dalam tangki dengan tingkat karbon dioksida yang tinggi meningkat dalam ukuran secara dramatis.

Tepatnya, mereka tumbuh 67 persen lebih dibandingkan dengan yang ditempatkan dalam tangki dengan tingkat karbon dioksida rendah.

 

5. Celeng

Babi Hutan atau Celeng
Ilustrasi Foto Babi Hutan atau Celeng (iStockphoto)

Dalam beberapa tahun terakhir, populasi babi hutan telah meningkat secara dramatis di Jerman. Faktanya, pada tahun 2009, jumlah hewan ini mencapai lebih dari dua juta.

Dan bukan hanya Jerman yang mengalami banjir babi hutan ini. Negara-negara Eropa lainnya, seperti Belanda, Swiss, dan Austria, telah melihat lonjakan populasi babi hutan.

Beberapa bagian dari Amerika dan Asia juga mengalami fenomena yang sama. Celeng semakin tumbuh akibat perubahan iklim.

Bukannya mati, hewan-hewan ini berkembang di dunia yang menjadi lebih panas dan lebih panas. Ada dua alasan mengapa perubahan iklim telah membantu babi hutan bertambah jumlahnya.

Pertama, peningkatan suhu telah menyebabkan musim dingin yang lebih hangat. Perubahan dalam kondisi musim dingin ini meningkatkan kelangsungan hidup babi hutan yang lebih tua serta yang muda yang lahir di dekat awal musim dingin.

Kedua, sinar matahari yang intens yang disebabkan oleh naiknya tingkat karbon dioksida membantu pohon menghasilkan lebih banyak buah, seperti biji dan kacang, yang merupakan sumber energi yang sangat baik bagi babi hutan. Peningkatan ketersediaan makanan telah dikaitkan dengan peningkatan reproduksi babi hutan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya