Pemerintah RI Bebaskan 1 WNI Korban Sandera Kelompok Bersenjata di Filipina

Pemerintah Indonesia, telah menyerahterimakan WNI anak buah kapal ikan korban penyanderaan kelompok bersenjata di Filipina Selatan.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 16 Des 2018, 14:36 WIB
Diterbitkan 16 Des 2018, 14:36 WIB
Gedung Pancasila dan Ilustrasi Bendera Indonesia (Liputan6.com/Gempur M Surya)
Gedung Pancasila dan Ilustrasi Bendera Indonesia (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Menteri Luar Negeri, atas nama Pemerintah Indonesia, telah menyerahterimakan WNI anak buah kapal (WNI/ABK) ikan korban penyanderaan kelompok bersenjata di Filipina Selatan atas nama Usman Yunus kepada istri dan perwakilan keluarga pada 13 Desember 2018.

"Wakil Menteri Luar Negeri dalam sambutannya mengucap syukur atas bebasnya Usman Yunus yang telah disandera di Filipina Selatan selama 2 bulan 26 hari sejak 11 September 2018," demikian seperti dikutip dari Kemlu.go.id, Minggu (16/12/2018).

Lebih lanjut, Wakil Menteri Luar Negeri menegaskan bahwa keberhasilan pembebasan sandera Usman merupakan buah kerja keras Pemerintah dan dukungan seluruh masyarakat Indonesia. Serta, dilakukan atas kerja sama antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Filipina.

Pihak keluarga yang diwakili oleh Julianti, istri korban menyampaikan terima kasih dan penghargaan atas kerja keras Pemerintah Indonesia dalam membebaskan suaminya.

Serah terima Usman Yunus dari Pemerintah Filipina kepada Pemerintah Indonesia telah diwakili oleh Duta Besar RI untuk Filipina pada tanggal 10 Desember 2018 di Manila, Filipina.

Usman Yunus bersama dengan 1 (satu) orang WNI/ABK lainnya telah diculik dan disandera oleh kelompok bersenjata di perairan dekat Pulau Gaya, Samporna, Sabah, Malaysia pada 11 September 2018. Belum jelas apakah kelompok tersebut terafiliasi dengan Abu Sayyaf, militan teroris yang kerap bersarang di Filipina selatan.

Namun, mengomentari dugaan tersebut, Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia, Kemlu RI, Lalu Muhammad Iqbal, dalam konferensi pers di Kemlu RI, Jakarta, Rabu 19 September 2018 mengatakan:

"Apakah pelaku kelompok Abu Sayyaf? Kita masih terus melakukan pendalaman."

"Sejak Isnilon Hapilon (bos Abu Sayyaf) tewas, Abu Sayyaf telah terpecah menjadi puluhan hingga ratusan sub-kelompok dan sempalan yang tersebar di Filipina selatan. Bahkan ada juga beberapa kelompok kecil yang baru muncul yang kemudian mengatasnamakan diri mereka sebagai afiliasi Abu Sayyaf."

"Jadi, ketika media menyebut bahwa pelaku kasus penculikan adalah Abu Sayyaf, ya, karena memang kelompok itulah yang dikenal merambah di Filipina selatan."

"Di sisi lain, para kelompok kriminal di Filipina selatan telah memandang nama Abu Sayyaf sebagai sebuah brand, sebuah trademark. Semua penculik kemudian mengambil nama Abu Sayyaf dalam melakukan aksinya."

Saat ini masih terdapat 3 orang WNI/ABK yang menjadi korban penculikan kelompok bersenjata di Filipina Selatan, menurut data Kemlu RI.

Upaya pembebasan ketiga WNI/ABK tersebut terus dilakukan dan Menteri Luar Negeri mengharapkan dukungan dari semua pihak agar upaya yang saat ini tengah dilakukan, dapat segera membuahkan hasil.

 

Simak video pilihan berikut:

 

Mendesak Jaminan Keamanan bagi Para WNI/ABK

Gedung Pancasila
Gedung Pancasila Kemlu RI (Liputan6.com/Gempur M Surya)

Guna mencegah berulangnya insiden penculikan dan penyanderaan terhadap WNI/ABK yang bekerja di perairan Sabah, Pemerintah Indonesia telah mendesak Pemerintah Malaysia, khususnya Pemerintah Negara Bagian Sabah, untuk meningkatkan pengamanan di kawasan perairan Timur Malaysia yang berbatasan dengan Filipina.

Perwakilan RI di Malaysia juga telah mengeluarkan himbauan agar WNI/ABK dan nelayan yang bekerja di perairan Sabah untuk meningkatkan kewaspadaan dan tidak bekerja apabila tidak ada jaminan keamanan dari aparat setempat.

Kemlu RI juga mengatakan akan mengevaluasi kembali kerja sama patroli gabungan yang dilakukan bersama dengan Malaysia dan Filipina di perairan tiga negara yang saling bersinggungan di Borneo-Sulu-Sulawesi, alias Kesepakatan Kerja Sama Trilateral (TCA), yang mencakup Patroli Maritim Trilateral (TMP) dan Patroli Udara Trilateral (TAP) pada 2017.

Kerja sama TCA diprakarsai oleh ketiga negara untuk membendung infiltrasi dan aktivitas kelompok kriminal, teroris dan perompak yang beroperasi di kawasan maritim yang saling bersinggungan. Namun, Indonesia mendorong untuk meninjau kembali kerja sama itu.

Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia (BHI) Kemlu RI, Lalu Muhammad Iqbal menjelaskan, alasan pemerintah untuk mendorong evaluasi kerja sama TCA. "Itu karena ada yang salah dengan pelaksanaan selama satu tahun terakhir ini," ujarnya dalam sebuah konferensi pers di Kemlu RI, Jakarta, Rabu 19 September 2018.

"Kerja sama untuk mencegah insiden penculikan dan penyanderaan di wilayah maritim tiga negara yang saling bersinggungan sudah ada, dan sejak beberapa waktu terakhir terus diperkuat," ujarnya merujuk pada TCA Indonesia-Malaysia-Filipina.

"Tapi, something went wrong (dengan pelaksanaan TCA), kita kecolongan, ketika dua WNI kembali diculik di perairan Sabah ... Padahal, sejak satu tahun terakhir, insiden seperti itu sudah tak ada."

Menyikapi kasus terbaru, pemerintah Indonesia, telah melakukan political push kepada Malaysia dan Filipina --menyusul kasus penculikan terbaru bulan ini-- untuk mengevaluasi TCA.

"Menlu sudah menyampaikan keprihatinannya kepada pemerintah kedua negara ... Untuk ke depannya, kita perlu meninjau kembali agar mekanisme pengamanan maritim yang sudah ada tak bisa dibobol oleh kelompok kriminal yang beroperasi di kawasan itu, guna memastikan agar warga ketiga negara mendapat jaminan keamanan."

"Apalagi, para pelaku kriminal terus menemukan cara-cara baru untuk melancarkan aksinya," kata Iqbal menjelaskan kebutuhan mendesak dari peninjauan TCA tersebut.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya