Liputan6.com, Napyidaw - Kelompok pemberontak dilaporkan menyerang empat pos polisi di negara bagian Rakhine, Myanmar, ketika negara itu masih memperingati Hari Kemerdekaan, kata kantor berita resmi setempat.
Dikutip dari The Guardian pada Minggu (6/1/2019), sebanyak 13 orang tewas, terdiri dari sebagian besar anggota polisi, dan tiga orang warga sipil.
Kantor berita resmi Myanmar mengatakan empat pos polisi di Kota Buthidaung di utara Rakhine, diserang oleh ratusan anggota militan Arakan --kelompok pemberontak yang menginginkan otonomi lebih besar-- setelah matahari terbit pada Jumat 4 Januari.
Advertisement
Baca Juga
Tiga belas polisi tewas dan sembilan lainnya luka-luka ketika polisi terpaksa meninggalkan dua pos. Kini, bersama dengan bantuan militer Myanmar, mereka tengah melakukan "pembersihan" di wilayah serangan tersebut.
Juru bicara militer Myanmar, Zaw Min Tun, mengatakan para pemberontak menyerang pos-pos polisi di dekat perbatasan dengan Bangladesh.
"Pos-pos polisi ini ada di sana untuk melindungi ras nasional di daerah itu, sehingga (pemberontak militan Arakan) tidak bisa melakukan keonaran terhadapnya," kata Min Tun.
Ras nasional, menurut Min Tun, merujuk pada sebagian kelompok etnis Buddha yang tinggal di negara bagian Rakhine. Tidak seperti kelompok muslim Rohingnya, yang mengaku sama-sama asli setempat, mereka diberikan warga kewarganegaraan resmi oleh pemerintah Myanmar.
Di lain pihak, juru bicara Tentara Arakan, Khine Thu Ka, mengkonfirmasi serangan itu dan mengatakan bahwa para anggotanya telah membawa pergi tujuh jenazah di antaranya.
Thu Ka juga mengatakan bahwa pihaknya telah membebaskan setidaknya 12 anggota pasukan keamanan yang ditahan selama pertempuran dengan pemerintah.
Serangan terhadap empat pos polisi itu, tambah Thu Ka, merupakan tanggapan atas operasi militer Myanmar yang menyasar militan Arakan dalam beberapa pekan terakhir, yang juga menargetkan warga sipil.
Simak video pilihan berikut:
Memberontak di Wilayah Perbatasan yang Keras
Pertempuran sempat terjadi di negara bagian Rakhine pada awal Desember lalu, antara pasukan pemerintah dan militan Arakan.
Negara bagian Rakhine sendiri dihuni oleh mayoritas penduduk beragama Buddha, namun Tentara Arakan tidak menyebut agama sebagai faktor pemberontakannya.
Rakhine juga dikenal oleh dunia internasional sebagai wilayah paling bergejolak di Myanmar, di mana sejak 2017 lalu, terjadi kisruh tidak berujung antara penduduk setempat dan gerilyawan muslim Rohingya, sehingga memaksa ratusan ribu warga etnis terkait melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh.
Sementara itu, konflik terpisah antara militer Myanmar dan militan Arakan memaksa 2.500 warga sipil setempat mengungsi pada akhir tahun lalu, lapor PBB.
Militan Arakan mengklaim telah berperang selama hampir satu dekade untuk menuntut otonomi lebih di "tanah Arakan," nama lain untuk negara bagian Rakhine. Hal itu merujuk pada sejarah keberadaan kerajaan dengan nama serupa, yang berkuasa di wilayah pesisir barat Myanmar hingga Abad ke-18.
Militan Arakan adalah salah satu dari beberapa kelompok pemberontak bersenjata yang berasal dari etnis minoritas di wilayah perbatasan keras antara Myanmar dan Bangladesh.
Advertisement