Liputan6.com, Jakarta - Memberi dan menerima cokelat telah menjadi salah satu cara paling populer untuk memperingati hari kasih sayang yang dikenal dengan hari Valentine.
Namun, pernahkah Anda bertanya dalam hati, tentang bagaimana awal mulanya kado cokelat identik dengan perayaan Hari Valentine?
Dikutip dari Elite Daily pada Minggu (10/2/2019), ada latar belakang sains di balik fenomena unik yang menjelma sebagai bagian dari budaya populer ini.
Advertisement
Baca Juga
Kita semua pernah mendengar pembicaraan tentang manfaat super yang dimiliki oleh biji kakao. Menurut Forbes, cokelat telah terbukti baik untuk kesehatan jantung, meningkatkan fungsi kognitif, dan secara mengejutkan kaya akan nutrisi.
Lalu, banyak pula yang mengklaim --mulai dari budaya kuno hingga era modern-- bahwa cokelat hitam diketahui mampu meningkat gairah dalam bercinta, alias sebagai afrodisiak alami.
Jika Anda berpikir bahwa hubungan antara cinta dan cokelat itu cukup baru, jangan terlalu cepat menyimpulkan.
Tautan rekaman pertama antara cokelat dan bangkitnya gairah bisa ditelusuri kembali hingga ke masa Aztec kuno. Menurut The New York Times, kaisar terkenal Montezuma dikabarkan telah mengonsumsi biji kakao layaknya camilan cokleat sebagai "bahan bakar kencan romantisnya."
Meski begitu, para peneliti belum bisa menyepakati temuan bahwa cokelat berperan sebagai afrodisiak. Secara ilmiah, biji kakao mengandung tryptophan dan phenylethylamine, dua bahan kimia yang memengaruhi pusat kesenangan dan penghargaan otak.
Sebagian besar ilmuwan sepakat bahwa jumlah bahan kimia yang terkandung dalam cokelat ini terlalu sedikit untuk memiliki efek nyata pada keinginan akan gairah seksual.
Didukung Faktor Komersial
Selanjutnya, harian The Independent pernah menulis, banyak "komentator era Victoria" mengamati bahwa hampir naluriah ketika pria tahu cokelat adalah jalan untuk memikat lawan jenis, yakni melalui peningkatan gairah yang memuncak.
Dan ketika para pengiklan zaman itu terus memperkuat hubungan antara cokelat dan cinta, The Independent mencatat bahwa buku-buku etiket di era Victoria memberi peringatan lebih jauh kepada para wanita, untuk tidak menerima sekotak coklat dari seseorang yang bukan tunangan mereka.
Pada akhirnya, sejarah cokelat yang berkaitan dengan cinta begitu mendarah daging dalam banyak iterasi di masa lalu, yang masih tetap relevan untuk diterapkan di era modern seperti sekarang, termasuk dalam perayaan Hari Valentine.
Simak video pilihan berikut:
Asal-Usul Tradisi Hari Valentine
Ada dua teori tentang asal usul Hari Valentine. Pertama, menurut History.com, tiap tanggal 13-15 Februari, warga Romawi kuno merayakan Lupercalia. Upacara ini dimulai dengan pengorbanan dua ekor kambing jantan dan seekor anjing.
Kemudian, para pria --dalam keadaan setengah telanjang-- berlarian di jalanan, mencambuk para gadis muda dengan tali berlumuran darah yang terbuat dari kulit kambing yang baru dikorbankan.
Walaupun mungkin terdengar seperti semacam ritual sesat sadomasokis, itulah yang dilakukan oleh orang-orang Romawi sampai tahun 496 Masehi. Sebagai ritus pemurnian dan kesuburan.
Teori kedua adalah bahwa ketika Kaisar Romawi, Claudius II, berusaha untuk meningkatkan pasukannya, ia melarang laki-laki muda untuk menikah, karena baginya, pria lajang adalah prajurit dengan kekuatan fisik dan rohani terbaik.
Dalam semangat yang membara, salah seorang prajurit bernama St. Valentine menentang larangan itu dan melakukan pernikahan rahasia, lapor History.com. Karena ketidaktaatannya, ia dieksekusi mati pada 14 Februari. Sejak saat itulah, hari kematian St. Valentine diperingati sebagai Hari Kasih Sayang.
Advertisement