25 Tahun Genosida, Presiden Rwanda: Sejarah Kelam Tak Akan Terulang

Rwanda memperingati 25 tahun genosida dengan aksi 100 hari berkabung nasional.

oleh Siti Khotimah diperbarui 08 Apr 2019, 17:34 WIB
Diterbitkan 08 Apr 2019, 17:34 WIB
Tampak Presiden Rwanda Paul Kagame dan beberapa pemimpin negara menyalakan obor di Kigali Genocide Memorial pada Minggu (7/4/2019) memulai secara resmi 100 hari periode berkabung (Presidency Rwanda, Twitter.com/@UrugwiroVillage)
Tampak Presiden Rwanda Paul Kagame dan beberapa pemimpin negara menyalakan obor di Kigali Genocide Memorial pada Minggu (7/4/2019) memulai secara resmi 100 hari periode berkabung (Presidency Rwanda, Twitter.com/@UrugwiroVillage)

Liputan6.com, Kigali - Rwanda memperingati 25 tahun genosida yang pernah terjadi di negaranya, dengan 100 hari berkabung nasional. Aksi itu dimulai pada Minggu, 7 April 2019.

Tampak Presiden Rwanda Paul Kagame dan beberapa pemimpin negara mendatangi Kigali Genocide Memorial pada Minggu, memulai secara resmi periode berkabung. Mereka menyalakan obor peringatan, yang akan dibakar selama 100 hari sejak Minggu siang, sebagaimana dikutip dari Al Jazeera, Senin (8/4/2019).

Tampak 3.000 warga negara bergabung dalam peringatan. Sebelumnya, mereka berjalan dari rumah-rumah parlemen ke stadion nasional kota Amahoro.

Tampak 3.000 orang mengikuti pawai peringatan 25 tahun genosida di Rwanda (Presidency Rwanda, Twitter.com/@UrugwiroVillage)

"Ketakutan dan kemarahan telah digantikan oleh energi yang mendorong kita untuk maju," kata Kagame dalam upacara peringatan di Kigali.

Dalam kesempatan itu, ia mengatakan bahwa Rwanda tidak akan pernah mengulangi kesalahan yang menyebabkan genosida.

"Sejarah ini tidak akan terulang. Itu adalah komitmen kuat kami," imbuhnya.

 

Simak pula video pilihan berikut:

Genosida Rwanda

Situs memorial Genosida Rwanda di Nyamata (Inishheer / Wikimedia / Creative Commons)
Situs memorial Genosida Rwanda di Nyamata (Inishheer / Wikimedia / Creative Commons)

Tragedi genosida terjadi di Rwanda pada 6 April 1994. Kejahatan itu dimulai saat sebuah pesawat yang membawa Presiden Rwanda saat itu, Juvenal Habyarimana ditembak jatuh ketika pesawat itu bersiap untuk mendarat di Kigali.

Seluruh orang di pesawat itu terbunuh, termasuk presiden Burundi. Kedua pemimpin itu tengah pulang dari tanzania, menandatangani perjanjian damai dengan pemberontak Tutsi yang kala itu merupakan kelompok minoritas.

Insiden itu diikuti oleh pembantaian massal selama 100 hari. Sebanyak 800.000 orang, sebagian besar minoritas Tutsi dibunuh oleh pasukan dari kelompok Hutu yang bersekutu dengan pemerintah.

Dalam peristiwa berdarah itu, ribuan Hutu yang moderat juga terbunuh, karena menolak ikut serta dalam genosida.

Jika dihitung secara kasar, satu dari 10 warga Rwanda terbunuh dalam tragedi itu.

Hingga saat ini, penembak pesawat yang dinaiki oleh dua presiden itu masih menjadi misteri. Beberapa investigasi yang dilakukan tidak memunculkan hasil yang berarti.

Meski demikian, Kelompok Front Patriotik Rwanda (RPF) yang dipimpin orang Tutsi, menuduh kelompok garis keras Hutu menembak jatuh pesawat agar menjadi alasan melakukan pembantaian --yang mengorbankan banyak Tutsi-- yang telah direncanakan sebelumnya.

Tanggapan Pemimpin Negara Lain

Konvoi kemanusiaan dari AS membawa bantuan untuk pengungsi terdampak Genosida Rwanda di Kimbumba, Zaire (sekarang Republik Demokratik Kongo) pada 1994 (TSgt. Marv Krause / United States Air Force)
Konvoi kemanusiaan dari AS membawa bantuan untuk pengungsi terdampak Genosida Rwanda di Kimbumba, Zaire (sekarang Republik Demokratik Kongo) pada 1994 (TSgt. Marv Krause / United States Air Force)

Sejumlah negara turut berkabung atas tragedi genosida Rwanda. Sehari sebelum peringatan 25 tahun insiden berdarah, Perdana Menteri Ethiopia Abiy Ahmed mengapresiasi negara itu yang telah bangkit dari sejarah kelam.

"Kesalahan masa lalu telah mengantarkan negara Anda kepada ketinggian yang lebih," kata Abiy, yang pernah menjadi bagian dari misi penjagaan perdamaian di Rwanda pada 1995.

"Mengakui sisi kelam masa lalu dalam sejarah namun memilih untuk bergerak kepada cahaya adalah tindakan yang berani dan gigih," imbuhnya.

Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker juga menyampaikan dalam upacara, mengimbau generasi baru untuk tidak melupakan tragedi itu.

"Hanya dengan mengingatnya, kita dapat membangun masa depan yang lebih cerah secara bersama-sama," kata Juncker.

"Waktu tidak akan pernah bisa menghapus masa kelam dalam sejarah kita," lanjutnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya