Liputan6.com, Brussel - Indonesia dan Malaysia bersatu menyampaikan protes keras terhadap Uni Eropa, soal rencana pelarangan penggunaan minyak kelapa sawit. Khususnya, sebagai bahan campuran biodiesel yang tercantum dalam Delegated Act Red II.
Kedua negara telah mengirimkan surat pernyataan bersama kepada Uni Eropa yang menunjukkan kekecewaan atas regulasi. Peraturan itu dinilai diskriminatif dan berstandar ganda.
Advertisement
Baca Juga
Surat pernyataan bersama ditandantangani Presiden Indonesia, Joko Widodo, dan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohammad. Untuk memperkuat protes yang disampaikan, Indonesia mengirimkan delegasi ke Kantor Uni Eropa di Brussel, Belgia. Indonesia diwakili oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, dan Negeri Jiran mengirimkan Sekjen Kementerian Industri Utama, Dr. Tan Yew Chong.
Mereka menggelar konferensi pers di Pers Club, Brussel, Senin (8/4/2019), bersama dengan delegasi Kolombia, Felipe Garcia Acheverri. Kolombia bersatus sebagai negara pemantau dalam misi bersama ini.Â
Darmin Nasution mengatakan, Indonesia kecewa dengan rencana penerapan aturan itu --begitu pula Malaysia. Indonesia mengklaim sudah memperbaiki berbagai kekurangan di masa lalu terkait industri minyak kelapa sawit yang memicu terbitnya Delegated Act.
Adapun Uni Eropa memunculkan rancangan regulasi tersebut dengan alasan minyak kelapa sawit memicu terjadinya deforestasi (alih fungsi hutan) yang berujung pada kerusakan lingkungan.Â
Â
Dampak Negatif Bagi Indonesia
Rencana penerapan regulasi tersebut sangat berpengaruh terhadap Indonesia karena minyak kelapa sawit adalah komoditas ekspor penting. Minyak kelapa sawit telah berkontribusi signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan mengurangi kemiskinan.
Saat ini Indonesia memiliki 19,5 juta pekerja di industri kelapa sawit. Sebagian besar dari mereka adalah buruh. Jika minyak kelapa sawit benar-benar dilarang di Uni Eropa, para pengusaha kecil dan buruh akan terdampak langsung.Â
"Diskrimasi (yang dilakukan Uni Eropa) itu tak adil dan berstandar ganda. Indonesia dan Malaysia mengirimkan surat ke Parlemen Uni Eropa yang mengekspresikan kekecewaan kami terhadap regulasi itu," kata Darmin.
"Kami yakin ada cara lain untuk melakukan dialog yang lebih konstruktif soal kelapa sawit, untuk membantu mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan," lanjutnya Darmin.Â
Indonesia siap mengambil langkah yang lebih tegas jika regulasi tersebut benar-benar disahkan, yaitu membawa isu ini WTO jika Uni Eropa melanjutkan upaya mengesahkan Delegated Act RED II.
"Indonesia mungkin juga akan meninjau kembali kerja sama dengan Uni Eropa dan negara-negara anggotanya, serta kegiatan impor dari Uni Eropa," kata Darmin.
Advertisement
Malaysia Juga Kecam Keras
Malaysia juga melontarkan pernyataan keras terkait Delegated Act yang dirancang Uni Eropa. Mereka menuding Uni Eropa hanya menjadikan ancaman kerusakan lingkungan sebagai alasan untuk menyingkirkan kepentingan bisnis Malaysia di Uni Eropa.
"Ini pesan kuat dari kami. Jangan mendiskriminasikan negara produsen minyak kelapa sawit. Kami sudah melakukan semuanya (sesuai yang disyaratkan Uni Eropa). Sebenarnya apa maunya? Ini tidak tepat," ujar Tan Yew Chong.
Jika regulasi tersebut disahkan, Indonesia dan Malaysia bakal merupakan pukulan besar. Indonesia saat ini berstatus sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia, sedangkan Malaysia terbesar kedua. Kedua negara diperkirakan memasok 85 persen kebutuhan minyak kelapa sawit dunia. Â
Pada Selasa, 9 April 2019, Menko dijadwalkan bertemu Wakil Presiden Parlemen Eropa (Heidi Hautala), Direktur Jenderal bidang Energi, Transportasi, Lingkungan Hidup, Jaroslaw Pietras (Dewan Eropa), mengadakan joint meeting dengan berbagai anggota Parlemen Eropa, Komisioner Energi dan Perubahan Iklim (Miguel Arias Canete) dan Komisioner Lingkungan Hidup (Karmenu Vella /Â Yus Mei Sawitri).