Liputan6.com, Maputo - Pemerintah Mozambik mengatakan pihaknya memerlukan dana sebesar US$ 3,2 miliar (setara Rp 46 triliun) untuk pemulihan pasca-hantaman dua topan tropis awal tahun ini.
Bencana beruntun yang menewaskan ratusan orang itu juga disebut meningkatkan kekhawatiran tentang dampak perubahan iklim terhadap banyak negara pesisir, demikian lapor penilaian bersama oleh Bank Dunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dan Uni Eropa pada hari Jumat.
Sementara itu, beberapa pekerja bantuan mengaku khawatir bahwa dampak terburuk masih bisa terjadi di kemudian hari, demikian sebagaimana dikutip dari Time.com pada Jumat (31/5/2019).
Advertisement
Baca Juga
Topan Idai dan Kenneth menewaskan lebih dari 650 orang di Mozambik, ditambah ratusan lainnya di Zimbabwe dan Malawi. Korban tewas terakhir mungkin tidak pernah diketahui karena beberapa jenazah hanyut.
Ini adalah pertama kalinya dalam sejarah, bahwa dua topan tropis melanda Mozambik dalam satu musim. Pesisir negara itu dan 2.400 kilometer garis pantai di sekitarnya --yang berhadapan langsung dengan Samudra Hindia-- adalah salah satu yang paling rentan terdampak pemanasan global.
Menurut beberapa pengamat, hantaman topan akan memperburuk kemiskinan di Mozambik dan negara-negara pesisir Afrika Timur lainnya, di mana proses pemulihannya akan "sangat menantang".
"Semakin memburuk seiring berjalannya waktu," kata Mahmoud Shabeeb, juru bicara organisasi bantuan CARE, seraya menambahkan bahwa kemungkinan panen berikutnya berisiko di bawah 50 persen.
Badai Menghancurkan Komunitas Pesisir
Topan Idai yang menghantam pada pertengahan Maret membawa banjir meluas, sehingga membuat banyak penduduk terpaksa bertahan semampunya di atap rumah selama berhari-hari. Bencana tersebut juga melintasi wilayah tengah Mozambik, yang dikenal sebagai lumbung tanaman negara tersebut, sehingga kemudian berdampak buruk pada potensi panennya.
Selang enam pekan kemudian, Topan Kenneth tiba di provinsi paling utara Cabo Delgado, mengejutkan penduduk setempat yang belum pernah mengalami badai begitu dahsyat. Gelombang panjang menghancurkan komunitas pesisir, dan beberapa daerah masih sulit atau tidak mungkin dijangkau petugas penyelamat.
"Suara (badai) itu seperti sekawanan serigala yang marah," kata Ahmad Baroudi, juru bicara kelompok bantuan Save the Children, mengatakan kepada kantor berita Associated Press setelah mengunjungi pulau Ibo yang hancur akibat badai.
Penduduk di sana mengatakan kepadanya bagaimana mereka berjuang untuk meletakkan satu kaki di depan yang lain dalam angin badai, dan bagaimana semua orang --bahkan mereka yang tidak dianggap beragama-- terus berdoa meminta kesalamatan.
Advertisement
Dampak Buruk Badai Meluas pada Anak-Anak
Selain itu, masih menurut Baroudi, dampak buruk dari hantaman badai kian meluas pada anak-anak.
Semakin sedikit anak-anak yang pergi ke sekolah, dan mereka juga semakin terancam oleh risiko pelecehan dan pengabaikan.
"Beberapa harus berkerja atau melakukan "seks dengan terpaksa" untuk bertahan hidup," ujar Baroudi.
Ditambahkan olehnya, bahwa anak-anak dan para korban badai lainnya terpaksa meminum air yang tidak aman, dan mata pencaharian mereka pun hancur tidak tertolong, membuat ketahanan pangan semakin mencemaskan.
"Dunia kurang tanggap dalam merespons dampak bencana ini. Hanya 30 persen dari permohonan bantuan dikucurkan oleh US Aid --lembaga bantuan kemanusiaan AS-- telah masuke ke Mozambik," lanjut Baroudi prihatin.