Lee Teng-hui, Eks Presiden Taiwan yang Kerap Dijuluki Bapak Demokrasi Meninggal

Mantan Presiden Taiwan Lee Teng-hui meninggal pada usia 97 tahun.

oleh Benedikta Miranti T.V diperbarui 31 Jul 2020, 15:05 WIB
Diterbitkan 31 Jul 2020, 15:01 WIB
Mantan Presiden Taiwan, Lee Teng-Hui meninggal pada usia ke-97.
Mantan Presiden Taiwan, Lee Teng-Hui meninggal pada usia ke-97. (AP/ Chiang Ying-ying)

Liputan6.com, Taipei - Mantan Presiden Taiwan Lee Teng-hui, yang dianggap sebagai "bapak demokrasi Taiwan", telah meninggal pada usia 97 tahun.

Melansir BBC, Jumat (31/7/2020), ia menjabat sebagai presiden Taiwan, dari tahun 1988 hingga 2000.

Lee dipuji karena mengakhiri pemerintahan otokratis yang mendukung pluralisme dan demokrasi, tetapi kemudian juga menjadi tokoh yang kontroversial.

Usahanya untuk memisahkan Taiwan dari China memicu ketegangan dengan Beijing, yang melihat Taiwan sebagai bagian dari wilayahnya yang akan dipersatukan kembali suatu hari nanti.

Lee meninggal pada hari Kamis karena syok septik dan kegagalan banyak organ di Taipei, setelah dirawat di rumah sakit selama hampir enam bulan.

Selama masa jabatannya ia memimpin perubahan konstitusi menuju tata ruang politik yang lebih demokratis, termasuk pemilihan presiden langsung.

Presiden saat ini, yakni Tsai Ing-wen mengatakan "ia meletakkan dasar demokrasi yang dibangun di atas kebanggaan dan identitas kita sendiri".

Nama Lee pun kian naik karena menentang upaya Tiongkok untuk berkuasa atas pulau itu dan berharap Taiwan menjadi "negara demokrasi, kebebasan, hak asasi manusia, dan martabat."

Ia menjadi presiden pada tahun 1988 setelah kematian pendahulunya, Chiang Ching-kuo.

Pada tahun 1996 - pemilihan presiden langsung pertama di Taiwan - ia terpilih secara demokratis untuk masa jabatan kedua dengan kemenangan besar.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Pernah Didakwa

Ilustarsi bendera Taiwan (AFP/Mandy Cheng)
Ilustarsi bendera Taiwan (AFP/Mandy Cheng)

Setelah kepresidenannya, Lee didakwa dengan tuduhan menggelapkan dana publik, tetapi dibebaskan.

Dan di kemudian hari, dia dikritik karena pandangan kolonialnya yang pro-Jepang, yang dianggap ketinggalan zaman.

Dia mengunjungi Kuil Yasukuni Jepang, yang menghormati penjahat perang Perang Dunia II, dan menolak sebagai kebohongan Jepang masa perang - Pembantaian Nanjing dan penggunaan wanita penghibur sebagai budak seks.

Dia juga mengecewakan banyak orang Taiwan dengan mengatakan Kepulauan Diaoyutai yang diklaim Taiwan adalah milik Jepang.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya