London - Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO dan pemerintah berbagai negara meminta agar masyarakat terus mengikuti protokol kesehatan agar tak tertular COVID-19. Masalahnya adalah virus itu tak hanya gampang menular, tetapi mengancam kapasitas rumah sakit.Â
Uniknya, ada orang yang malah ingin tertular COVID-19. Namun, mereka bukannya mau sesumbar, melainkan untuk kepentingan ilmiah.Â
Advertisement
Baca Juga
Dilaporkan ABC Australia, Rabu (21/10/2020), Pembuat coklat asal London Utara, Robert Hatfield, adalah salah satu orang yang daftar ke "studi tantangan" yang bertujuan menularkan Virus Corona baru kepada peserta untuk mengetahui kekuatan virus tersebut sekaligus mengetes vaksin.
Ia tidak langsung memberi tahu keluarganya atas keputusan ikut penelitian COVID-19, namun ia harap keluarganya akan bangga.
"Menurut saya mereka akan bangga," ujarnya. "Kalau saya merasa bisa melakukan sesuatu, dan bisa menolong, maka saya dengan senang hati mau melakukannya."
Â
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Prosedur Penelitian
Peserta berusia 18 sampai 30 tahun yang dalam kondisi prima telah direkrut oleh tim peneliti dari Imperial College London.
Bila memenuhi kriteria kesehatan dan kecocokan, mereka akan menginap di klinik selama dua minggu di bulan Januari, sehingga kondisinya dapat diamati dengan seksama.
Peter Openshaw, profesor Pengobatan Eksperimental di Imperial College, mengatakan cara pemindahan virusnya sangatlah sederhana.
"Virusnya akan diberikan dalam bentuk tetes hidung," katanya. "Kami akan terus memantau 'viral load' (muatan virus), hampir setiap jam, dan melihat kapan kami dapat mendeteksi virus yang meriplikasi diri dalam hidung."
Profesor Peter mengatakan penelitian ini akan membantu menemukan vaksin COVID-19.
Selain itu, penelitian tersebut juga akan membantu menguji obat anti virus yang diberikan kepada pasien di tahap awal perawatan.
Dengan secara sengaja menularkan virus kepada relawan, ilmuwan tidak perlu menunggu seseorang 'tertular virus' di komunitas, sehingga mempercepat proses penelitian.
"(Penelitian ini) sangatlah signifikan. Ini akan jadi percobaan pertama sejenisnya di dunia," kata Profesor Peter.
"Banyak pihak lain yang sudah berdiskusi untuk melakukan penelitian ini namun menurut saya dukungan masyarakat untuk penelitian ini sangatlah kuat di Inggris."
Advertisement
Apa Risikonya?
Robert Hatfield mengaku paham apa yang mungkin terjadi jika ia terpilih menjadi salah satu peserta percobaan.
"COVID bukan flu. Penyakit ini lebih intensif, lebih rumit," katanya.
"Saya tahu suhu badan akan meningkat, tenggorokan sakit, dan mungkin seluruh tubuh akan nyeri."
Tapi, ia mengatakan tidak akan terkena penyakit "yang mengancam jiwa" dari percobaan ini.
"Ini mungkin adalah cara terbaik tertular virus karena kami akan diamati setiap waktu," katanya.
"Kami tidak akan menularkannya pada siapapun, selain itu juga diawasi oleh pihak yang kompeten."
Profesor Peter mengatakan sukarelawan hanya akan diberikan virus dalam dosis rendah untuk mengurangi risiko yang tidak diinginkan.
"Tujuan akhir penelitian ini bukanlah agar (sukarelawan) demam tinggi atau hipoksia, dan sebagainya," katanya."Kami berharap hal ini tidak terjadi karena kami berhati-hati dan menmberikan dosis rendah."
Bagaimana dengan Jangka Panjangnya?
Dampak jangka panjang penularan COVID-19 masih tidak jelas.
Walau kebanyakan pasien cepat pulih keadaannya, banyak juga yang melaporkan gejalanya bertahan selama berbulan-bulan.
Penelitian ini masih membutuhkan persetujuan resmi sebelum dapat dimulai Januari mendatang, namun Pemerintah Inggris telah berjanji untuk menggelontorkan dana sebesar 60 juta pound sterling.
Julian Savulescu, ahli filsafat dan bioetika di Oxford University, mengatakan sebuah pertanyaan terkait etika perlu dipertimbangkan.Â
"Dalam hal ini, tidak ada obat yang sempurna. Masih ada risiko dan bisa saja ada yang meninggal."
Namun, menurutnya, sukarelawan yang sehat dapat mempertimbangkan sendiri risiko yang ada.
Selain itu, menolak sukarelawan yang bersedia juga dinilai tidak etis.
"Ada orang yang mau memberikan ginjal mereka ke orang asing dan ada juga yang mau mengorbankan nyawa untuk negara mereka," ucap Profesor Julian.
"Menurut saya masuk akal saja membiarkan orang untuk bersikap altruistik, terutama bila pengorbanan mereka dapat menyelamatkan ratusan bahkan ribuan nyawa di waktu mendatang."
Advertisement