Liputan6.com, Jakarta - Indonesia dan negara-negara tetangganya telah mencatat kehadiran kasus hepatitis akut yang misterius. Hepatitis akutini disebut misterius karena sejauh ini penyebabnya dinilai berbeda dari kasus hepatitis lain. WHO juga masih melakukan investigasi.
Health Liputan6.com melaporkan bahwa jumlah kasus diduga hepatitis akut di DKI Jakarta sampai dengan Rabu, 11 Mei 2022, sebanyak 21 orang. Termasuk di antaranya tiga anak yang meninggal dunia di Rumah Sakit Cipto Mangungkusumo (RSCM) belum lama ini.
Advertisement
Advertisement
Baca Juga
Bahkan, satu dari 21 kasus diduga terinfeksi hepatitis misterius adalah pasien dewasa. Padahal, sejak kemunculannya, hepatitis akut paling banyak diderita anak-anak.
Hal tersebut disampaikan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria di Balai Kota Jakarta pada Rabu, 11 Mei 2022.
"Data sementara ada 21 kasus yang diduga terkait hepatitis akut. Namun demikian ini masih dalam proses penyelidikan epidemiologi," kata Riza.
"Ditunda dulu bermain di tempat-tempat umum, seperti kolam renang bersama, kegiatan anak-anak kan suka bermain di tempat-tempat indoor segala macam," ujarnya.
Sementara, Channel News Asia juga melaporkan ada hepatitis akut di anak usia 10 bulan di Singapura. Pemerintah Singapura telah memerintahkan para petugas kesehatan untuk siaga terhadap kasus hepatitis misterius ini.Â
Media-media negeri jiran Malaysia turut melaporkan bahwa anak laki-laki berusia empat tahun ikut terkena kasus hepatitis akut ini. Kementerian Kesehatan Malaysia juga meningkatkan surveilans terhadap kasus hepatitis aku di klinik-klinik.Â
Â
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Anak Perlihatkan Gejala Serupa Hepatitis Akut, Kapan Mesti ke RS?
Sejauh ini hepatitis akut yang belum diketahui penyebabnya memiliki sederet gejala awal yang dapat diwaspadai.
Para ahli mengungkapkan bahwa gejala awal dari hepatitis misterius berupa mual, muntah, diare, sakit perut, hingga demam. Namun, tidak dapat dipungkiri, gejala tersebut juga umum terjadi pada anak.
Lalu, kapankah orangtua perlu membawa anak ke dokter bila muncul gejala-gejala yang serupa dengan hepatitis akut yang misterius tersebut?
Spesialis anak ahli pencernaan dan hati RS EMC Sentul, dr Sumardi Fransiskus mengungkapkan bahwa orangtua bisa melihat lebih dulu gejala yang muncul di awal.
"Pertama memang kita harus lihat dulu, jadi, kita lihat apa ada mual muntah? Kalau mual, muntah, diare kan takutnya dehidrasi karena asupannya sudah kurang. Anak-anak yang dehidrasi bisa ke arah yang berat, boleh kita kasih oralit," ujar Sumardi dalam program Liputan6 Update pada Rabu, 11 Mei 2022.
"Tapi kita observasi satu hari. Kalau semakin memburuk, sebaiknya kita refer ke fasilitas kesehatan atau ke dokter,"Â dia menambahkan.
Sebelumnya, Sumardi juga mengungkapkan bahwa orangtua memang perlu lebih waspada lagi saat ini terutama saat sudah menemukan gejala mual, muntah, diare, dan demam.
Apalagi jika anak sudah terlihat lemas, tidak mau makan, atau terlihat berbeda dari hari-hari biasanya.
Menurut Sumardi, penyakit yang disebabkan oleh virus seperti hepatitis misterius ini biasanya sistemik. Artinya, proses munculnya gejala bertahap dan tidak hanya pada satu tempat saja.
"Jadi perasaan badan tidak enak, baru mual muntah, ada diare. Terakhir baru terjadi kuning ketika hatinya sudah tidak bisa lagi memetabolisme," kata Sumardi.
Advertisement
Mengapa Pasiennya Anak-Anak?
Pasien hepatitis akut yang misterius memang mayoritas adalah anak-anak. Menurut Sumardi, ada tiga hal yang berperan dalam hal ini.
Pertama, anak-anak masih dalam fase pertumbuhan yang mana belum memiliki sistem imunitas yang cukup kuat. Sehingga menjadi lebih mudah untuk terkena penyakit.
"Sistem imun bisa maksimal kalau pada usia anak itu nol sampai 18 tahun. Memang pasien-pasien (hepatitis misterius) yang terkena itu dua sampai 16 tahun," ujar Sumardi.
"Jadi, memang pada anak-anak ini kita ketahui ada proses pertumbuhan dan perkembangan. Semua organ itu berkembang, termasuk sistem imun yang terbatas,"Â dia menjelaskan.
Kemungkinan penyebab kedua berkaitan dengan higienitas. Misalnya, menurut Sumardi, anak-anak seringkali memasukan tangannya ke mulut, yang mana belum terjamin kebersihannya.
Sumardi mengungkapkan bahwa hepatitis misterius satu ini juga mungkin merupakan varian baru. Hal tersebut lantaran virus yang ada pada hepatitis sebelumnya tidak terdeteksi pada hepatitis misterius.
"Ketiga, mungkin ini juga varian baru. Seperti SARS-CoV-2 yang kemarin pada anak-anak tidak terlalu berat. Tapi pada ini, kenapa lebih berat? Mungkin dia sifatnya varian baru," kata Sumardi.
Tidak Berpeluang Jadi Pandemi
Kasus hepatitis akut yang masih misterius penyebabnya menimbulkan pertanyaan baru mengenai kemungkinan menjadi pendami. Terkait ini, Juru Bicara Kementerian Kesehatan RI Siti Nadia Tarmizi mengatakan penyakit hepatitis akut misterius tidak berpeluang menjadi pandemi sebab sebaran kasus secara global bergerak lambat.
"Tidak berpeluang pandemi jika melihat perkembangan jumlah kasus dan sampai saat ini hanya enam negara yang melaporkan hepatitis akut dengan jumlah kasus lebih dari enam pasien," kata Nadia.
Ia mengatakan bahwa seluruh kasus hepatitis akut misterius di dunia berstatus "probable".
"Sementara total kasus probable hepatitis akut secara global berjumlah 348 dengan 70 kasus tambahan yang masih dalam penyelidikan," kata Nadia pada Rabu, 11 Mei 2022 mengutip Antara.
Mantan Direktur Penyakit Menular WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama mengatakan kemungkinan hepatitis akut menjadi pandemi perlu melalui kajian pendahuluan oleh Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO).
"Tentang kemungkinan penyakit apapun jadi pandemi, maka akan melalui proses ditentukan dulu sebagai Public Health Emergency of International Concern (PHEIC)," katanya.
Ia mengatakan PHEIC akan mengukur sejumlah barometer status pandemi di antaranya sebaran penyakit lintas benua, menimbulkan masalah kesehatan yang berarti serta merupakan jenis penyakit yang baru.
"Lalu sesudah itu dilihat lagi perkembangannya, kalau terus meluas maka baru akan disebut pandemi," kata Tjandra.
Bila melihat pengalaman COVID-19, pertama kali dilaporkan WHO pada 5 Januari 2020, dinyatakan PHEIC 31 Januari 2020 dan pandemi pada 11 Maret 2020.
Advertisement