Liputan6.com, Hutan Amazon - Rombongan ilmuwan berhasil mencapai lokasi tempat berdirinya pohon tertinggi di sungai terpanjang di dunia, Sungai Amazon. Tinggi pohon itu mencapai 88,5 meter.
Berdasarkan laporan ABC News, Selasa (18/10/2022), ilmuwan berusaha mencapai pohon itu selama tiga tahun. Mereka kesulitan karena harus menembus hutan rimba. Pertama kali pohon itu terdeteksi adalah pada 2019 pada proyek pemetaan 3D.
Baca Juga
Pohon itu memiliki nama ilmiah Dinizia excelsa atau nama lokalnya angelim vermelho. Tinggi pohon yang mencapai 88,5 meter dan diameter 9,9 meter membuatnya menjadi yang terbesar yang diidentifikasi di Sungai Amazon.
Advertisement
Perjuangan mencapai pohon ini tidak mudah sama sekali. Setelah pohon ini terdeteksi pada 2019, sebuah kelompok yang terdiri atas akademisi, ahli lingkungan, dan pemandu lokal berusaha untuk mencapai pohon ini pada 2021.
Setelah 10 hari trekking area yang sulit, rombongan harus berputar balik karena kelelahan, kurang persediaan, serta anggota yang jatuh sakit.
Tiga ekspedisi selanjutnya kemudian digelar menuju pohon yang berlokasi di Iratapuru River Nature Reserve tersebut. Ekspedisi tersebut mengarah ke wilayah Lembah Jari yang berada di negara bagian Amapa dan Para.
Pada perjalanan itu, para rombongan bahkan menemukan pohon-pohon raksasa lain, seperti pohon kacang Brazil tertinggi di Sungai Amazon dengan tinggi 66 meter.
Barulah pada September 2022 anggota ekspedisi berhasil mencapai angelim vermelho tersebut. Rombongan menempuh jarak 250 kilometer dengan perahu, kemudian berjalan 20 km di hutan pegunungan.
Usia Ratusan Tahun
Setelah melewati perjalanan berbahaya, dan satu anggota rombongan digigit laba-laba beracun, rombongan ekspedisi yang terdiri atas 19 orang akhirnya mencapai pohon tertinggi itu.
Insinyur kehutanan Diego Armando berkata perjalanan yang mereka tempuh setara dengan hasilnya, apalagi wilayah itu belum pernah dipijak manusia.
"Ini merupakan salah satu hal terindah yang pernah saya lihat. Surgawi," ujarnya. "Kamu berada di tengah-tengah hutan di mana umat manusia tidak pernah pihak sebelumnya dengan alam yang melimpah."
Rombongan berkemah di bawah pohon tersebut, serta mengumpulkan dedaunan, tanah, dan sampel-sampel lainnya agar bisa mengetahui usia pohon tersebut.
Diego Armando memberikan estimasi usia pohon itu adalah 400 hingga 600 tahun
Namun, kehidupan pohon itu dikhawatirkan terancam, sebab jenis pohonnya disukai para logger di hutan.
Hal itu diungkap Jakeline Pereira, anggota kelompok lingkungan Imazo. Ia berkata kayu angelim vermelho disukai para logger, dan Iratapuru Reserve sedang dijajah penambang emas ilegal yang merusak lingkungan. Ia pun senang pohon tua itu bisa ditemukan di tengah masalah ini.
"Kami sangat senang membuat penemuan ini," ujar wanita itu. "Ini sangat penting di saat Amazon menghadapi deforestasi pada level yang menakutkan."
Advertisement
Kecerdasan Buatan
Para peneliti Brasil menemukan bahwa area prioritas untuk tindakan memerangi deforestasi ilegal di hutan Amazon dapat terdiri dari wilayah 27,8% lebih sedikit daripada 11 wilayah yang pemerintah federal pantau di bawah strategi saat ini--dikenal sebagai Amazon Plan 2021/2022. Mereka menggunakan metode yang didasarkan pada citra satelit dan kecerdasan buatan.
Di dalam sebuah makalah yang terbit di jurnal Conservation Letters, wilayah Amazon yang diklasifikasikan sebagai prioritas tinggi karena memiliki tingkat deforestasi tertinggi mencapai 414.603 kilometer persegi tahun ini. Sementara total area yang ditargetkan oleh rencana untuk 11 wilayah adalah 574.724 kilometer persegi. Dengan kata lain, area yang akan dipantau dapat dikurangi 160.000 kilometer persegi, yang kira-kira seluas Suriname.
Namun demikian, sementara hotspot deforestasi yang diidentifikasi oleh para peneliti menyumbang 66% dari rata-rata laju deforestasi tahunan, 11 kotamadya yang ditargetkan oleh rencana pemerintah hanya mewakili 37% dari laju deforestasi selama tiga tahun terakhir (2019-2021).
Dalam artikel tersebut, para ilmuwan yang berafiliasi dengan Instituto Nacional de Pesquisas Espaciais (INPE) dan universitas-universitas di Amerika Serikat menyimpulkan bahwa metode yang mereka usulkan akan memberikan fokus lebih ketat pada pemantauan dan penegakan hukum.
Lebih jauh lagi, mereka menekankan bahwa metode ini mengungkapkan batas-batas deforestasi baru di luar area prioritas dan karenanya tidak tercakup dalam rencana pemantauan resmi.
"Dengan menggunakan pendekatan baru ini, kami menyimpulkan bahwa memprioritaskan area dengan tingkat deforestasi lebih tinggi akan lebih efektif daripada membatasi pemantauan ke kotamadya tertentu," ujar Guilherme Augusto Verola Mataveli, seorang peneliti di Divisi Observasi Bumi dan Geoinformatika di INPE.
Mataveli menilai prioritas ini penting, mengingat bahwa lembaga yang bertanggung jawab atas penegakan hukum dalam kasus ini, terutama IBAMA dan ICMBio, memiliki anggaran dan staf yang terbatas.
"Beberapa dari titik-titik deforestasi ini berada di 11 kotamadya, tetapi yang lain berada di sekitarnya dan merupakan perbatasan baru," tutur Mataveli.
Deforestasi Masih Meningkat
Para penulis mencatat bahwa deforestasi di 11 kotamadya yang ditargetkan oleh rencana itu telah signifikan dalam beberapa tahun terakhir dan itu menjadi dasar untuk pemantauan.
Namun, mereka menilai tidak cukup untuk memprioritaskan hanya daerah-daerah ini, yaitu São Félix do Xingu, Altamira, Novo Progresso, Pacajá, Portel, Itaituba dan Rurópolis (Pará); Apuí dan Lábrea (Amazonas); Colniza (Mato Grosso); dan Porto Velho (Rondônia).
Mereka juga mencatat bahwa meskipun konsentrasi pada area-area ini untuk tujuan pemantauan dan penegakan hukum, deforestasi meningkat 105% antara bulan Februari dan April 2021 dibandingkan dengan rata-rata untuk periode yang sama antara tahun 2017 dan 2021. DETER, program peringatan deforestasi resmi Brasil, menunjukkan 524,89 km2 lokasi deforestasi baru di area ini.
"Studi ini memvalidasi pentingnya INPE, yang selama 60 tahun telah melatih para peneliti luar biasa, menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi dari data satelit untuk masyarakat dan pembangunan nasional," kata Luiz Aragão, Kepala Divisi Observasi Bumi dan Geoinformatika di INPE.
Menurut Aragão, kemajuan dalam pemrosesan data yang diwujudkan dalam penggunaan kecerdasan buatan untuk perencanaan tindakan untuk memerangi deforestasi sangat penting untuk mengurangi masalah lingkungan negara dan membangun rencana pembangunan berkelanjutan nasional.
Advertisement