Liputan6.com, Beijing - Penutupan Kongres Partai Komunis China dihebohkan dengan insiden "pengusiran" mantan Presiden China Hu Jintao. Saat ia sedang duduk di samping Presiden Xi Jinping, mendadak ia diajak keluar orang dua orang staf.Â
Insiden itu terjadi di hadapan media massa yang meliput kongres pada Sabtu (22/10). Kontan saja video itu langsung viral di media sosial dan beredar pula teori konspirasi bahwa Hu Jintao telah disingkirkan secara politik.Â
Hu Jintao menjabat sebagai presiden China pada 2002-2012.
Advertisement
Ketika diajak pergi, Hu Jintao tampak kebingungan dan enggan pergi. Barulah setelah dibujuk-bujuk, politisi senior berusia 79 tahun itu mau berdiri. Sebelum berjalan pergi, ia sempat berbicara sedikit dengan Presiden Xi Jinping.
Ada pula spekulasi bahwa Hu Jintao dikeluarkan karena masalah kesehatan. Politisi senior berusia 79 tahun itu memang diketahui punya masalah kesehatan dalam beberapa tahun terakhir.
Media pemerintah China, Xinhua, memberikan konfirmasi bahwa insiden "pengusiran" tersebut terkait masalah kesehatan. Hu Jintao dikabarkan tetap bersikeras agar hadir di Kongres PKC meski sakit.
Yang membawa Hu Jintao keluar merupakan stafnya sendiri.Â
"Ketika ia tidak merasa baik-baik saja selama sesi, stafnya, demi kesehatannya, mengantarnya ke ruangan di sebelah venue pertemuan agar beristirahat," tulis Xinhua melalui Twitter, dikutip Minggu (23/10/2022).
Kondisi Hu Jintao lantas dilaporkan sudah lebih baik. Tidak dijelaskan secara spesifik terkait penyakit Hu Jintao.Â
Kongres PKC merupakan ajang lima tahunan di China. Acara masih dilaksanakan dengan protokol COVID-19. Walau para anggota partai di barisan depan tidak menggunakan masker, anggota-anggota lain yang hadir tampak memakai masker.
Kasus COVID-19 Melesat di Beijing Saat Kongres Partai Komunis China
Sebelumnya dilaporkan, kasus COVID-19 di Beijing, China, sedang meningkat ketika Kongres Partai Komunis China sedang menuju puncaknya. Kongres PKC digelar pada 16-22 Oktober 2022. Ini adalah kongres lima tahunan yang sangat penting dalam perpolitikan Republik Rakyat China.
Berdasarkan laporan The Guardian, Kamis (20/10), otoritas di Beijing telah menerapkan lockdown dan memperketat pengecekan publik di sejumlah area tempat tinggal warga. Pasalnya, kasus naik empat kali lipat dalam jangka 10 hari terakhir.
Pada Kamis ini, ada 197 kasus baru yang terdaftar dalam 10 hari, dan itu empat kali lipat lebih tinggi ketimbang 10 hari sebelumnya, yakni 49 infeksi saja.
Angka penularan di Beijing memang rendah, namun China menerapkan zero-Covid policy, sehingga pemerintah daerah tak boleh lengah terhadap penularan virus corona.
Otoritas kesehatan Beijing telah meminta agar adanya screening lebih kuat bagi para individu yang berisiko, serta pengecekan yang lebih teliti terhadap masyarakat yang masuk area ramai, seperti supermarket dan gym.
Beberapa lokasi tempat tinggal harus masuk lockdown selama tiga hari karena adanya suspek kasus. Durasi tersebut bisa diperpanjang jika diperlukan.
"Pastikan tidak ada yang terlewat," ujar otoritas kesehatan Beijing.
Presiden Xi Jinping masih terus mempertahankan kebijakan nol COVID-19 negaranya, meski banyak negara yang melonggarkan protokol COVID-19. Baru-baru ini, ada kasus gadis 16 tahun yang meninggal karena COVID-19 di pusat karantina, padahal keluarganya sudah meminta bantuan medis.
Gelombang kritik juga datang setelah ada kecelakaan bus yang menewaskan 27 orang yang dibawa ke pusat karantina.
Meski demikian, pemerintah daerah China tetap konsisten melawan COVID-19. Kota Shanghai pun berencana membangun fasilitas karantina dengan 3.250 kasus di pulau kecil dekat pusat kota.
Advertisement
WHO Sebut COVID-19 Masih Darurat Kesehatan Global, Meski Ada Kemajuan
Banyak negara di dunia mulai melonggarkan protokol kesehatan untuk mencegah COVID-19. Perbatasan pun sudah mulai dibuka, turis asing pun sudah mulai diizinkan untuk pelesir.
Kendati demikian Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Rabu 19Â Oktober 2022Â mengatakan masih terlalu dini untuk mencabut status peringatan tertinggi untuk krisis COVID-19. Mengapa?Â
Hal itu mengingat situasi pandemi COVID-19 masih menjadi darurat kesehatan global meskipun terdapat sejumlah kemajuan baru-baru ini.
Komite darurat WHO untuk COVID-19 pada minggu lalu bertemu dan menyimpulkan bahwa status pandemi masih berada dalam kondisi Darurat Kesehatan Masyarakat yang Menjadi Perhatian Internasional (PHEIC), status yang diumumkan pada Januari 2020.
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, pada Rabu 19Â Oktober mengatakan kepada wartawan bahwa ia setuju dengan saran komite itu.
"Komite menekankan perlunya memperkuat pengawasan dan memperluas akses pada tes, perawatan, dan vaksin bagi mereka yang paling berisiko," kata Ghebreyesus, yang berbicara dari markas besar badan kesehatan PBB itu di Jenewa seperti dikutip dari laporan VOA Indonesia, Kamis (20/10).Â
WHO pertama kali menyatakan wabah COVID-19 sebagai PHEIC pada 30 Januari 2020, ketika terdapat kurang dari 100 kasus COVID-19 tercatat di luar China.
Meskipun deklarasi PHEIC adalah mekanisme yang disepakati secara internasional untuk memicu respons internasional terhadap wabah semacam itu, baru pada bulan Maret, banyak negara mulai menyadari bahaya COVID-19 ketika Tedros menggambarkan situasi yang memburuk sebagai pandemi.
622 Juta Kasus COVID-19 yang Dikonfirmasi Dilaporkan ke WHO
Sejak awal pandemi COVID-19, lebih dari 622 juta kasus COVID-19 yang dikonfirmasi telah dilaporkan ke WHO dan tercatat lebih dari 6,5 juta kematian, meskipun angka-angka itu diyakini terlalu rendah.
Menurut informasi global WHO, 263.000 kasus baru dilaporkan dalam 24 jam terakhir, sementara 856 kematian akibat COVID-19 telah dilaporkan dalam seminggu terakhir.
Tedros, pada Rabu, mengakui bahwa "situasi global jelas telah membaik sejak mulainya pandemi," tetapi dia memperingatkan bahwa "virus terus berubah dan masih terdapat banyak risiko dan ketidakpastian."
Ia memperingatkan "pandemi telah membuat kita semua tercengang sebelumnya dan sangat mungkin hal tersebut terulang kembali."
Advertisement