Pengamat: Kedatangan Pelancong China di Musim Liburan Saat Kasus COVID-19 Tinggi Berbahaya

China sekarang sudah membuka perbatasan dan mengizinkan warganya untuk bepergian saat perayaan Imlek.

oleh Teddy Tri Setio Berty diperbarui 30 Des 2022, 15:33 WIB
Diterbitkan 30 Des 2022, 15:33 WIB
China Mulai Berikan Vaksin COVID-19 Hirup
Wanita yang memakai masker wajah mengantre untuk mendapatkan tes usap tenggorokan COVID-19 rutin mereka di tempat pengujian virus corona di Beijing, Rabu (26/10/2022). Kota Shanghai di China mulai memberikan vaksin COVID-19 yang dapat dihirup pada hari Rabu di tempat yang tampaknya menjadi yang pertama di dunia. (AP/Andy Wong)

Liputan6.com, Jakarta - Amerika Serikat, Jepang, dan sejumlah negara lainnya memutuskan mengamanatkan tes COVID-19 bagi pelancong yang datang dari China.

Hal ini mencerminkan kekhawatiran global bahwa varian baru dapat muncul dalam wabah eksplosif. Ditambah lagi, China sekarang sudah membuka perbatasan dan mengizinkan warganya untuk bepergian saat perayaan Imlek.

Menanggapi hal ini, Epidemiolog Dicky Budiman menyebut bahwa China bisa saja begitu. Namun ini dianggapnya sangat berbahaya.

"China membuat aturan ini agar orang-orang bisa keluar dari situasi krisis dan bisa pergi ke luar negeri," ujar Dicky Budiman saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (30/12/2022).

"Inilah yang harus dimitigasi oleh kita (Indonesia) dengan meningkatkan screening, mengetahui jenis kriteria, keamanan lewat PCR negatif, sudah booster dan termasuk 3 hari masa karantina," tambahnya.

Dicky Budiman juga menyebut bahwa masa karantina bisa saja tak terpusat, bisa di hotel dan tak boleh keluar.

"Harus punya PeduliLindungi dan bisa diberi keterangan merah atau hitam, namun tak bisa kemana-mana."

"Setelah 3 hari, kalau memungkinkan melakukan PCR dan bisa keluar dan melakukan aktifitas."

"Yang saya khawatirkan bukan BF7 tapi varian sub varian baru yang lahir dari infeksi masif dari China. Ini akan merugikan kita."

Dicky Budiman mengatakan, banyak negara melakukan pembatasan terhadap pelancong China dan bagaimana pun pembatasan ini diperlukan, meskipun tidak seperti zaman dahulu dengan melakukan masa karantina 2 minggu.

"Di Australia modal imunitas mereka sudah kuat. Booster sudah di atas 70 persen. Booster kita belum banyak jadi rawan dan kita butuh mitigasi itu," tambahnya.

 

Pandangan Sama dari Epidemiolog Lain

Akibat Lockdown, Pekerja Tinggalkan Zona Industri Kota Zhengzhou di China
Pekerja dengan pakaian pelindung mendaftarkan orang untuk tes COVID-19 di tempat pengujian virus corona di Beijing, Rabu (2/11/2022). Para pekerja iPhone Apple Inc meninggalkan pabrik karena lokasinya berada dalam zona industri Kota Zhengzhou yang sedang diberlakukan lockdown setelah adanya 64 laporan kasus virus corona di kawasan tersebut. (AP Photo/Mark Schiefelbein)

Sementara itu, sependapat dengan Dicky Budiman, Epidemiolog dr. Bayu Satria juga pandangan yang sama.

"Terkait aturan pemerintah China ini kurang begitu baik memang. Langkah yg bisa dilakukan negara lain adalah mewajibkan pendatang dari China tes negatif sebelum berangkat dan wajib sudha booster serta tidak bergejala," ujar dr. Bayu Satria saat dihubungi Liputan6.com.

"Jika ada kasus kasus yg timbul dengan bersumber dari orang yang datang dari China maka mungkin perlu diperketat lagi dengan karantina 3-5 hari."

Ia juga menyebut, lantaran kasus di China peningkatannya sedang tinggi artinya risiko juga tinggi dan itu sangat berbeda dengan negara negara lain yang sudah masuk risiko rendah seperti Indonesia.

AS Ikut Jejak 4 Negara Wajibkan Tes COVID-19 Bagi Pelaku Perjalanan dari China

Guangzhou Alami Lonjakan Kasus COVID-19
Seorang wanita menjalani swab tenggorokan untuk tes COVID-19 di tempat pengujian virus corona di Beijing, Rabu (9/11/2022). Lonjakan kasus COVID-19 telah mendorong penguncian di pusat manufaktur China selatan Guangzhou, menambah keuangan tekanan yang telah mengganggu rantai pasokan global dan secara tajam memperlambat pertumbuhan ekonomi terbesar kedua di dunia itu. (Foto AP/Mark Schiefelbein)

Lonjakan kasus COVID-19 di China membuat pejabat kesehatan federal Amerika Serikat mengambil langkah pencegahan penularan lebih lanjut, dengan mengumumkan bahwa hampir semua penumpang pesawat udara dari negara tersebut harus menunjukkan bukti hasil negatif tes COVID-19 jika hendak memasuki wilayah AS.

Aturan itu mulai berlaku 5 Januari 2023. Pengecualian hanya diberlakukan pada penumpang berusia di bawah dua tahun.

Langkah yang diambil AS itu menyusul kebijakan serupa yang telah diberlakukan oleh India, Italia, Jepang dan Taiwan.

"AS mengambil langkah proaktif guna melindungi kesehatan masyarakat Amerika dan waspada terhadap potensi munculnya varian COVID-19," kata pejabat kesehatan federal seperti dikutip dari VOA Indonesia, Kamis (29/12/2022).

Pada kesempatan tersebut, pejabat kesehatan federal juga menyebutkan bahwa pemerintah China tidak memiliki dan transparan dalam menyajikan data terkait Virus Corona COVID-19.

"Ada gambaran terbatas tentang data urutan genomic, tentang varian yang terdapat di China dalam basis data global. Selain itu pengujian dan pelaporan kasus baru juga berkurang. Berdasarkan absennya data ini, semakin sulit bagi kami untuk mengidentifikasi varian baru yang menyebar ke AS," demikian kilah pejabat itu ketika berbicara pada wartawan pada Rabu 28 Desember.

Pejabat tersebut berbicara dengan syarat anonim.

Pembatasan tersebut akan berlaku untuk individu yang melakukan perjalanan dari wilayah China daratan, Hong Kong, dan Makau, termasuk mereka yang akan transit sebelum menuju ke tempat lain.

Warga China Buru-Buru Rencanakan Bepergian

Kasus COVID-19 meningkat dengan cepat di Prancis
Seorang perempuan mengenakan masker bergegas di peron kereta bawah tanah di Paris, Prancis, Kamis (30/6/2022). Kasus virus corona covid-19 meningkat dengan cepat di Prancis dan negara-negara Eropa lainnya setelah pembatasan COVID-19 dicabut pada musim semi. (AP Photo/Michel Euler)

Sebelumnya dilaporkan, masyarakat China yang terputus dari seluruh dunia selama tiga tahun oleh pembatasan COVID-19, berbondong-bondong ke tempat-tempat perjalanan pada Selasa (27 Desember) menjelang pembukaan kembali perbatasan, bahkan ketika infeksi yang meningkat membebani sistem kesehatan dan mengguncang perekonomian.

Dilansir Channel News Asia, Rabu (28/12), langkah-langkah zero COVID - dari perbatasan yang ditutup hingga lockdown berkepanjangan - telah menghancurkan ekonomi China sejak awal 2020, bulan lalu memicu ketidakpuasan publik terbesar di daratan sejak Presiden Xi Jinping mengambil alih kekuasaan pada 2012.

Perubahan kebijakannya pada bulan ini berarti virus sekarang menyebar sebagian besar tidak terkendali di seluruh negara berpenduduk 1,4 miliar orang.

Namun, statistik resmi menunjukkan hanya satu kematian akibat COVID-19 dalam tujuh hari terakhir hingga Senin, memicu keraguan di antara pakar kesehatan dan penduduk tentang data pemerintah. Angka-angka tersebut tidak konsisten dengan pengalaman negara-negara yang jauh lebih sedikit penduduknya setelah dibuka kembali.

Dokter mengatakan rumah sakit kewalahan dengan pasien lima sampai enam kali lebih banyak dari biasanya, kebanyakan dari mereka sudah lanjut usia. 

Pakar kesehatan internasional memperkirakan jutaan infeksi setiap hari dan memperkirakan setidaknya 1 juta kematian akibat COVID-19 di China tahun depan.

Infografis Daripada Jemput Virus Corona, Mendingan Liburan di Rumah Saja. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Daripada Jemput Virus Corona, Mendingan Liburan di Rumah Saja. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya