Jelang Valentine 2023, Hindari Cokelat yang Paling Bikin Gemuk

Hindari cokelat yang bikin gemuk di Valentine 2023.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 14 Jan 2023, 20:40 WIB
Diterbitkan 14 Jan 2023, 20:40 WIB
Ilustrasi Badan Gemuk atau Obesitas (iStockphoto)
Ilustrasi Badan Gemuk atau Obesitas (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Hari Valentine 2023 hanya tinggal sebulan lagi. Bisa situasi COVID-19 terus terkendali, Valentine 2023 akan menjadi pandemi yang lebih bebas dalam dua tahun terakhir. 

Valentine 2023 akan jatuh pada hari Selasa. Jika punya orang yang disukai di sekolah, kampus, atau tempat kerja, mungkin bisa menyiapkan hadiahnya dari sekarang. Cokelat pun masih menjadi hadiah klasik yang paling digemari saat Valentine. 

Mungkin ada orang yang tidak suka cokelat jika sedang menghindari makan gula atau sedang diet. Maka dari itu, coba periksa jenis cokelat yang dibeli, serta kadar gulanya, agar cokelatnya tidak membuat gemuk. 

Menurut situs Cleveland Clinic, Sabtu (14/1/2022), ada jenis cokelat yang paling banyak gulanya. Mungkin cokelat jenis itu perlu dihindari agar lemak tidak naik. 

Berikut tiga perbandingan tiga jenis cokelat untuk Valentine: 

1. Dark Chocolate

Cokelat ini dijuluki sebagai "semi-sweet". Sebuah cokelat perlu minimal 35 persen kokoa agar disebut dark chocolate. Cokelat ini disebut yang terbaik karena cokelat yang pengolahannya paling kecil.

Sisa komposisinya yang lain adalah cocoa butter, gula, emulsifier, dan vanila atau perisa lainnya. Susu juga bisa ditambahkan untuk memperlembut tekstur.

Semakin gelap cokelatnya, semakin baik. Cleveland Clinic menyarankan cokelat yang mengandung 70 persen hingga 85 persen kokoa. Namun, tetapi disarankan agar tidak banyak-banyak makan cokelat hitam dalam sehari, sebab 100 gram cokelat hitam bisa mengandung 500 kalori.

 

2. Milk Chocolate

cokelat
ilustrasi/copyright unsplash.com/Food Photographer Jennifer Pallian

Sesuai namanya, cokelat susu pastilah mengandung susu. Otoritas pangan dan obat Amerika Serikat (FDA) menyebut cokelat susu harus mengandung setidaknya 10 persen kokoa dan 12 persen susu bubuk.

Sisanya, cokelat ini juga mengandung cocoa butter, gula, emulsifier, dan perisa lainnya.

Cokelat ini mengandung lebih banyak gula dan lemak ketimbang dark chocolate. Jangan lupa membaca komposisinya agar memahami kandungan cokelat ini.

Situs kesehatan Universitas Harvard mencatat bahwa American Heart Association (AHA) memberikan saran agar wanita tak mengkonsumsi lebih dari 24 gram gula per hari, dan laki-laki tak mengkonsumsi lebih dari 36 gram gula per hari.

AHA bahkan mengajak masyarakat menghindari makanan yang menaruh "gula" di bagian pertama atau kedua dari komposisinya, sebab komposisi yang ditulis awal berarti lebih banyak kandungannya.

Saran lainnya adalah memakan dengan porsi kecil, kemudian dikunyah dengan saksama sehingga bisa dinikmati.

AHA mengingatkan bahwa mengurangi gula dapat melawan obesitas dan penyakit jantung. WHO pn mengingatkan hal serupa bahwa kebanyakan makan gula berperan menaikkan berat badan dan kegemukan, sehingga bisa memicu berbagai penyakit, seperti kanker dan diabetes.

3. White Chocolate

gula halus
ilustrasi gula halus/copyright by Dream79 Shutterstock

Inilah jenis cokelat yang paling membuat gemuk. Pasalnya, kandungan cokelat di white chocolate sangat kecil, kebanyakan isinya hanya lemak. 

Cleveland Clinic hanya menyebut cokelat jenis ini sebagai derivatif dari cokelat saja. Gulanya mencapai 55 persen dan cocoa butter mencapai 20 persen. Belum lagi komposisi tambahan seperti susu bubuk, lecithin, dan vanila. 

Situs Dame Cocoa bahkan ragu-ragu untuk menyebut cokelat putih sebagai cokelat sungguhan.

Cokelat jenis ini tidak direkomendasikan Cleveland Clinic. Jika ingin makan, konsumen disarankan makan secara terbatas saja. 

Sebelumnya dilaporkan, WHO mencatat bahwa risiko dari kegemukan atau obesitas bisa adalah kematian lebih awal.

Beberapa penyakit yang bisa muncul adalah penyakit jantung, diabetes tipe 2, osteoarthritis, hingga beberapa jenis kanker. WHO juga mengingatkan bahwa ongkos kesehatan dari penyakit-penyakit tersebut bisa sangat mahal. 

"Banyak dari kondisi-kondisi ini menyebabkan penderitaan jangka panjang bagi para individu dan keluarga. Ditambah lagi, ongkos-ongkos untuk sistem pelayanan kesehatan dapat luar biasa tinggi," tulis WHO dalam situs resminya.

Saran WHO adalah menambah konsumsi buah dan sayuran, mengurangi gula, mengurangi makanan dengan lemak jenuh (saturated fats), serta lebih aktif kegiatan fisik.

Konsumsi di Dalam Negeri

makan gula
Ilustrasi makan makanan manis./Copyright shutterstock.com/g/wayhome

Pada kondisi kesehatan dalam negeri, sebelumnya dilaporkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI angkat bicara soal menu yang manis dan obesitas. Kemenkes mengingatkan masyarakat untuk bijak mengonsumsi makanan dan minuman manis.

Kementerian Kesehatan merekomendasikan asupan gula maksimal sebanyak 50 gram per hari atau setara empat sendok makan sehari. Hal itu tertuang dalam Permenkes No 30/2013 yang diperbaharui dengan Permenkes 63/2015.

Jika berlebihan mengonsumsi gula, hal itu berisiko tinggi menyebabkan masalah kesehatan seperti gula darah tinggi, obesitas, dan diabetes melitus. Meski sudah ada aturan mengenai anjuran konsumsi gula, data Riset Kesehatan Dasar 2018 menunjukkan sebanyak 61,27 penduduk usia 3 tahun ke atas di Indonesia mengonsumsi minuman manis lebih dari 1 kali per hari. Lalu, 30,22 persen orang mengonsumsi minuman manis sebanyak 1-6 kali per minggu.

Sementara, hanya 8,51 persen orang mengonsumsi minuman manis kurang dari 3 kali per bulan.

Buntut dari asupan manis berlebihan serta tidak menjaga gaya hidup sehat berimbas pada peningkatan jumlah anak muda yang kelebihan berat badan dan obesitas di Tanah Air sebanyak dua kali lipat dalam 10 tahun terakhir seperti disampaikan Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes dokter Maxi Rein Rondonuwu.

Maxi mengatakan, data menunjukkan prevalensi berat badan berlebih pada anak-anak usia 5-19 tahun dari 8,6 persen pada 2006 menjadi 15,4 persen pada 2016. Lalu, prevalensi obesitas pada anak-anak usia 5-19 tahun dari 2,8 persen pada 2006 melonjak menjadi 6,1 persen pada 2016.

Infografis 9 Pertimbangan untuk WFO Saat Kasus Covid-19 Melandai. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis 9 Pertimbangan untuk WFO Saat Kasus Covid-19 Melandai. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya