Korban Cepu: Mahasiswi Rusia Ditahan Karena Protes Perang di Instagram

Mahasiswi Rusia bernama Olesya Krivtsova dipantau pemerintah karena postingan anti-perang di media sosial.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 15 Feb 2023, 12:30 WIB
Diterbitkan 15 Feb 2023, 12:30 WIB
Presiden Rusia Vladimir Putin Peringatkan Tak Ragu Pakai Senjata Nuklir Lawan Ukraina
Presiden Rusia Vladimir Putin memegang teropong saat menonton latihan militer Center-2019 di lapangan tembak Donguz dekat Orenburg, Rusia, 20 September 2019. Presiden Rusia Vladimir Putin memperingatkan bahwa dia tidak akan ragu menggunakan senjata nuklir untuk menangkal upaya Ukraina merebut kembali kendali atas wilayah yang didudukinya yang akan diserap Moskow. (Alexei Nikolsky, Sputnik, Kremlin Pool Photo via AP, File)

Liputan6.com, Arkhangelsk - Seorang mahasiswi Rusia bernama Olesya Krivtsova menjadi tahanan rumah karena protes kebijakan perang Presiden Rusia Vladimir Putin. Protes itu ia ungkap melalui Instagram.

Olesya diadukan oleh sejumlah temannya sendiri. Ia terkejut saat polisi datang ke rumahnya dan menahannya karena mengecam peperangan.

"Saya memposting Instagram story tentang jembatan," ujar Olesya kepada BBC, Rabu (15/2/2023), "merenungkan bagaimana rakyat Ukraina gembira dengan apa yang terjadi."

Jembatan yang dimaksud adalah ketika jembatan yang menyambung Krimea dan Rusia dibom pada akhir tahun lalu. Krimea adalah wilayah Ukraina yang dianeksasi oleh Rusia.

Olesya bercerita polisi datang ke rumahnya saat ia menelepon ibunya. Ponselnya disita dan ia disuruh tiarap. Wanita muda itu dituduh menjustifikasi terorisme dan mendiskreditkan tentara Rusia. Ancamannya 10 tahun penjara.

Kini, ia masih berstatus tahanan rumah. Kakinya dipasang pelacak agar ia bisa dimonitor.

Olesya tidak percaya dengan ancaman 10 tahun tersebut karena kritikannya di internet. Ia merasa aneh karena ia dianggap seperti ISIS.

"Ketika saya menyadari bahwa saya ditaruh pada daftar yang sama seperti penembak sekolah dan grup Islamic State, saya pikir itu hal yang gila," ujar Olesya.

Ia tidak dipenjara, melainkan kena tahanan rumah. Olesya tidak boleh online dan ponselnya disita.

Di kaki kanannya, ia memiliki tato wajah Vladimir Putin dengan kaki laba-laba. Pada tato itu tertulis kutipan dari novelis George Orwell: "Big Brother is watching you".

Penjara Penuh

Kondisi Pulau Ular yang Berhasil Kembali Direbut Ukraina dari Rusia
Sistem rudal Tor Rusia yang terbengkalai terlihat di Pulau Ular, Laut Hitam, Ukraina, 18 Desember 2022. Pasukan Rusia menduduki pulau itu pada awal-awal invasinya ke Ukraina, namun akhirnya mundur beberapa bulan kemudian. (AP Photo/Michael Shtekel)

Olesya merupakan mahasiswi Northern Federal University yang berlokasi di Arkhangelsk, Ia menyebut postingan miliknya disebar oleh temannya sendiri di grup chat.

Salah satu mahasiswa pro-perang menuduh Olesya menulis "pos-pos provokatif dengan karakter kekalahan dan ekstremis." Tulisan Olesya dinilai tak pantas di era perang.

Mayoritas anggota grup chat itu adalah mahasiswa sejarah. Para mahasiswa itu menyusun rencana licik untuk mendiskreditkan Olesya, atau melaporkan kepada pihak berwenang.

Ketika nama-nama para cepu itu diungkap di persidangan, Olesya mengaku tahu nama-nama tersebut.

Mengkritik perang Rusia-Ukraina memang dilarang di pemerintahan Vladimir Putin. Pihak yang setuju diharapkan untuk bungkam saja. Orang-orang yang mengkritik tentara Rusia dianggap "sakit".

Olesya boleh ke luar rumah untuk persidangan. Ia menyebut negara tidak berani debat untuk demokrasi.

"Negara tidak punya nyali untuk berdebat, untuk demokrasi, atau kemerdekaan," ujar Olesya. "Tetapi mereka tidak bisa menaruh semua orang di penjara. Pada suatu saat mereka akan kehabisan sel."

Moldova: Rusia Merencanakan Penggulingan Pemerintah Pro-Uni Eropa

Serangan Rudal Rusia Hantam Gedung Apartemen di Dnipro, 12 Orang Tewas
Warga membersihkan puing-puing setelah rudal Rusia menghantam apartemen di Kota Dnipro, Ukraina, 14 Januari 2023. Rusia meluncurkan gelombang serangan besar untuk memukul infrastruktur energi di Ukraina termasuk sebuah gedung apartemen sembilan lantai di Kota Dnipro yang menyebabkan 12 orang tewas. (AP Photo/Roman Chop)

Presiden Moldova Maia Sandu menuduh Rusia merencanakan penggulingan pemerintah pro-Uni Eropa negara itu melalui kekerasan yang disamarkan sebagai protes oposisi.

Plot Rusia itu diungkapkan oleh Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky minggu lalu. Di hadapan para pemimpin Uni Eropa, Zelenskiy mengklaim, Ukraina mencegat rencana intelijen Rusia setelah menemukan dokumen yang menunjukkan "siapa, kapan, dan bagaimana akan menghancurkan demokrasi Moldova serta membangun kendali" atas negara itu.

Pada Senin (13/2), beberapa hari setelah pemerintah Moldova pimpinan Perdana Menteri Natalia Gavrilita mengundurkan diri, Sandu mengatakan bahwa lembaga lokal mengonfirmasi plot Rusia. Menurutnya, itu bukanlah rencana baru.

Rencana itu, ujar Sandu, melibatkan warga Rusia, Montenegro, Belarusia, dan Serbia yang memasuki Moldova untuk mencoba memicu protes dalam upaya mengubah pemerintah yang sah menjadi pemerintah ilegal yang dikendalikan oleh Federasi Rusia.

"Upaya Kremlin untuk membawa kekerasan ke Moldova tidak akan berhasil. Tujuan utama kami adalah keamanan warga negara dan negara. Tujuan kami adalah perdamaian dan ketertiban umum di negara ini," ujar Sandu seperti dikutip dari The Guardian, Selasa (14/2).

"Tujuan dari tindakan ini adalah untuk membatalkan tatanan konstitusional, untuk mengubah kekuasaan yang sah menjadi tidak sah yang akan menempatkan negara kita pada sisi Rusia untuk menghentikan proses integrasi Eropa, selain itu juga agar Moldova dapat digunakan oleh Rusia dalam perang melawan Ukraina."

Warga Rusia Kabur ke Korea Selatan, Hindari Perang

FOTO: Persiapan Pasukan AS Sebelum Ditempatkan ke Polandia
Anggota Divisi Lintas Udara ke-82 Angkatan Darat AS berjalan di landasan Lapangan Paus menjelang penempatan ke Polandia dari Fort Bragg, AS, 14 Februari 2022. Mereka termasuk di antara tentara AS yang dikirim untuk NATO karena khawatir Rusia akan menyerang Ukraina. (AP Photo/Nathan Posner)

Pengadilan Distrik Incheon di Korea Selatan pada Selasa (14/2/2023), akhirnya memberikan dua dari lima pria Rusia hak untuk mengajukan status pengungsi. Mereka telah terdampar di Bandara Internasional Incheon selama berbulan-bulan.

Pada saat yang sama, pengadilan menolak permohonan suaka seorang warga negara Rusia lainnya, tanpa merinci keputusan tersebut. 

Tiga di antara pria Rusia mendarat di Korea Selatan pada Oktober, sementara dua lainnya pada November. Mereka melarikan diri dari Rusia untuk menghindari wajib militer di Ukraina.

"Kami menyambut baik keputusan pengadilan atas keduanya, tetapi sangat disayangkan bahwa permohonan yang lainnya ditolak," kata pengacara yang mewakili tiga pria Rusia, Lee Jong Chan, seperti dikutip dari Al Jazeera, Rabu (15/2).

"Mereka datang ke sini untuk menghindari membunuh orang yang tidak bersalah dan membuat diri mereka terbunuh dalam perang yang diprakarsai oleh negara asal mereka. Mereka membutuhkan waktu empat bulan hanya untuk memenangkan hak mengajukan status pengungsi," imbuhnya.

Meski otoritas imigrasi Korea Selatan diperkirakan akan mengajukan banding atas keputusan pengadilan, namun dua pria Rusia telah diperbolehkan meninggalkan bandara.

INFOGRAFIS JOURNAL_Konflik Ukraina dan Rusia Ancam Krisis Pangan di Indonesia?
INFOGRAFIS JOURNAL_Konflik Ukraina dan Rusia Ancam Krisis Pangan di Indonesia? (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya