Hampir 2 Pekan Konflik Sudan, Arab Saudi Sudah Evakuasi 2.744 Orang Termasuk Warga Asing

Arab Saudi.kembali melakukan proses evakuasi dari Sudan yang tengah berkecamuk konflik dua kubu militer.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 28 Apr 2023, 16:31 WIB
Diterbitkan 28 Apr 2023, 16:31 WIB
Asap tebal mengepul di atas gedung-gedung di sekitar bandara Khartoum pada 15 April 2023, di tengah bentrokan di ibu kota Sudan. (AFP)
Asap tebal mengepul di atas gedung-gedung di sekitar bandara Khartoum pada 15 April 2023, di tengah bentrokan di ibu kota Sudan. (AFP)

Liputan6.com, Jeddah - Kerajaan Arab Saudi telah mengevakuasi hingga 2.744 orang dari Sudan. Arab Saudi membantu penjemputan dengan jalur laut dan udara.

Berdasarkan laporan Arab News, Jumat (28/4/2023), Arab Saudi mulai melakukan proses evakuasi pada 24 April 2023. Dari 2.744 orang yang dievakuasi, sebanyak 119 di antaranya merupakan warga Saudi.

Orang-orang yang dievakuasi oleh Arab Saudi tersebut berasal dari 76 negara.

Pada Kamis 27 April, kapal HMS Riyadh menjemput 200 peserta evakuasi yang merupakan warga Gambia, Nigeria, Pakistan, Kanada, Bahrain, Thailand, Amerika Serikat, Lebanon, Afghanistan, Palestina, Somalia, dan Mesir.

Ada lebih dari 400 orang Filipina juga ikut rombongan evakuasi pada hari Kamis tersebut. 

Evakuasi terbesar sejauh ini dilakukan pada 26 April 2023 ketika Saudi mengevakuasi 1.687 orang dari 58 negara. Mereka dijemput di Port Sudan.

Pertolongan lewat jalur udara juga dilakukan Arab Saudi, para diplomat dan pejabat asing termasuk yang dijemput dengan pesawat.

Terkait situasi internal Sudan yang bergejolak, Menteri Luar Negeri Arab Saudi Pangeran Faisal bin Farhan terus berdiskusi dengan para menteri luar negeri dan pemimpin politik soal situasi di Sudan.

Konflik pecah antara militer Sudan melawan paramiliter Rapid Support Forces (RSF) pada 15 April 2023, hampir dua pekan. Setidaknya 459 orang tewas dalam konflik bersenjata tersebut. Pemerintah negara-negara asing pun ramai-ramai mengevakuasi warga negara mereka dan Arab Saudi menjadi tempat transit bagi para WNA tersebut.

Arab Saudi Fasilitasi Para Peserta Evakuasi dari Sudan

Duta Besar Kerajaan Arab Saudi Faisal bin Abdullah Al-Amudi. Dok: Tommy Kurnia/Liputan6.com
Duta Besar Kerajaan Arab Saudi Faisal bin Abdullah Al-Amudi. Dok: Tommy Kurnia/Liputan6.com

Duta Besar Kerajaan Arab Saudi di Jakarta, Faisal Abdullah, mengungkap bahwa angkatan laut Kerajaan Arab Saudi terlibat dalam evakuasi untuk menjemput para warga asing di Sudan. Sejauh ini, ada warga dari 67 negara yang ditolong. 

"Proses evakuasi ini dilakukan angkatan bersenjata Arab Saudi yaitu Angkatan Laut Kerajaan Arab Saudi. Tentu evakuasi ini merupakan bagian dari tindakan kemanusiaan yang diberikan Arab Saudi dan komitmen Arab Saudi terhadap warga negaranya di seluruh dunia, dan juga merespons dari permintaan sejumlah negara sahabat dari seluruh dunia, termasuk dari Indonesia, warga negara Indonesia," ujar Dubes Arab Saudi Faisal Abdullah dalam konferensi pers di gedung kedutaan, Jakarta, Kamis (27/4/2023). 

Lebih lanjut, Dubes Saudi mengungkap bahwa evakuasi jalur laut ini adalah yang terbesar yang pernah dilakukan Arab Saudi.

Dubes Faisal berkata para WNI yang tiba di Jeddah diberikan sejumlah fasilitas, termasuk visa. Fasilitas ini diberikan hingga para WNI, serta para peserta evakuasi dari negara-negara lain, dapat pulang ke negara masing-masing.

"Fasilitas diberikan kepada mereka, kepada warga negara Indonesia yang telah tiba di Jeddah, baik itu berkaitan dengan visa kemudian tinggal sementara, dan kebutuhan-kebutuhan pokok lainnya," ujar Dubes Faisal.

Paramiliter Rusia Ingin Terlibat Perang Saudara Sudan, Pakar Keamanan Khawatir

Penampakan Rumah-Rumah Warga Sudan yang Hancur Akibat Perang
Sejumlah negara seperti Amerika Serikat, Arab Saudi, Jepang, hingga Korea Selatan telah mulai mengevakuasi warganya dari Khartoum. (AP Photo/Marwan Ali)

Perang saudara sedang pecah di Sudan akibat perseteruan antara pasukan militer dan paramiliter Rapid Support Forces. Warga-warga asing pun berbondong-bondong diselamatkan dari Sudan. 

Dilaporkan VOA Indonesia, Kamis (27/4), Yevgeny Prigozhin, kepala kelompok paramiliter Wagner yang didukung pemerintah Rusia, menawarkan persenjataan kepada salah satu pihak yang berperang di Sudan. Hal itu dilaporkan sejumlah media.

Sejak perang itu dimulai bulan April, beredar laporan yang belum terkonfirmasi dan pernyataan sejumlah sumber diplomatik kepada beberapa kantor berita yang menyatakan bahwa para petempur Wagner mendukung kelompok paramiliter Sudan yang dikenal dengan sebutan Rapid Support Forces (RSF), alias Pasukan Dukungan Cepat, dan memasok persenjataan kepada kelompok tersebut.

Cameron Hudson, mantan pejabat Departemen Luar Negeri AS dan rekan senior di Center for Strategic and International Studies (CSIS), mengatakan kepada VOA bahwa Grup Wagner memasok sistem pertahanan udara portabel, roket dengan peluncur bahu, penghancur tank dan kendaraan lapis baja berat.

RSF membantah telah menerima bantuan senjata dari Rusia.

Meski demikian, seiring mengemukanya berita bahwa Grup Wagner memihak salah satu kubu, para pakar memperingatkan bahwa keterlibatan pihak luar hanya akan memperburuk konflik, mengingat buruknya rekam jejak Wagner dan catatan kekejamannya di Afrika.

Dalam sebuah pengakuan yang langka terkait keterlibatan kelompok itu di Sudan, Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov mengatakan pada hari Selasa (25/4) bahwa keputusan untuk melibatkan Grup Wagner sepenuhnya ada di tangan para pemimpin di Afrika.

“Republik Afrika Tengah dan Mali dan Sudan, sejumlah negara lainnya, yang pemerintahan sahnya memilih menggunakan jasa [Grup Wagner] semacam ini, punya hak untuk melakukannya,” kata Lavrov pada sebuah konferensi pers di PBB.

  

 

AS Pantau Manuver Wagner

Suasana perang antara kelompok militer dan paramiliter di Sudan. (Dok: AP News)
Suasana perang antara kelompok militer dan paramiliter di Sudan. (Dok: AP News)

Para pejabat tinggi AS terus mengutarakan keprihatinan mereka akan keterlibatan Grup Wagner di Sudan, yang terlibat dalam ekstraksi mineral.

Juru bicara Dewan Keamanan Nasional Gedung Putih John Kirby mengatakan bahwa keterlibatan kelompok itu berpotensi memicu konflik lebih jauh.

“Jelas kami tidak ingin melihat konflik ini semakin meluas atau melebar, dan tentu kami tidak mau melihat semakin banyak kekuatan bersenjata dilibatkan; hal itu hanya akan melanjutkan aksi kekerasan dan meningkatkan ketegangan,” ujarnya.

Pertempuran demi meraih kekuasaan itu diperebutkan oleh dua jenderal, Jenderal Abdel Fattah Burhan, kepala pasukan bersenjata, dan Jenderal Mohammed Hamdan Dagalo, atau Hemedti, pemimpin kelompok paramiliter yang dikenal dengan sebutan RSF.

Hemedti mengunjungi Rusia tak lama setelah Moskow menginvasi Ukraina dan telah mencoba meraih dukungan Grup Wagner.

“Melalui kunjungan ini, kami harap dapat memajukan hubungan antara Sudan dan Rusia untuk memperluas kesempatan, dan memperkuat kerja sama yang ada di antara kami di berbagai bidang,” kata Dagalo dalam sebuah unggahan Twitter ketika mengunjungi Moskow.

Jacqueline Burns adalah pengamat kebijakan senior di RAND Corporation, kelompok riset kebijakan global. Ia mengatakan, dengan mendukung Hemedti, Rusia berusaha melindungi kepentingannya.

“Rusia dan Grup Wagner, mereka diuntungkan oleh konsesi tambang emas di Sudan dan penyelundupan emas ke luar negeri,” katanya kepada VOA. “Grup Wagner memihak sisi yang mereka rasa kemungkinan besar akan mampu terus melindungi kepentingan-kepentingan ini, khususnya menentang pemerintahan yang dipimpin warga sipil.”

Infografis Penyebab Perang Bersaudara Berkecamuk di Sudan. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Penyebab Perang Bersaudara Berkecamuk di Sudan. (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya