Liputan6.com, Jakarta - Masyarakat adat, khususnya pemuda adat, memiliki peran sangat krusial dalam menjaga dan mengelola alam serta biodiversitas. Namun, eksistensi pemuda adat mengalami berbagai tantangan mulai dari rusaknya wilayah-wilayah adat karena berbagai industri ekstraktif, dunia pendidikan, hingga perkembangan teknologi modern.
Saat ini, pusat-pusat pendidikan tinggi semua berada di perkotaan, sehingga generasi muda di komunitas adat terpaksa harus pindah ke kota untuk melanjutkan pendidikannya. Banyak yang kemudian memilih menetap di kota untuk mencari kerja dan tidak kembali ke kampung halamannya.
Baca Juga
Kondisi tersebut tidak lepas dari konsep 'pekerjaan' yang secara umum mengalami distorsi.
Advertisement
"Banyaknya pemuda adat yang merantau ke kota menyebabkan terjadinya 'kekosongan' di komunitas, yang tertinggal hanya para tetua, perempuan dan anak-anak. Wilayah adat menjadi lebih rentan terhadap berbagai intervensi luar karena pemuda adat yang seharusnya menjadi garda depan untuk melindungi kampung, tidak berada di tempat. Oleh sebab itu, penting sekali para pemuda adat untuk pulang, turut menjaga, dan mengurus wilayah adatnya," ujar Deputi IV Sekjen Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Urusan Sosial Budaya Mina Setra seperti dikutip dalam keterangan tertulis pada Kamis (10/8/2023), untuk menandai Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) setiap 9 Agustus.
Di satu sisi, berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi membuat semua jenis informasi yang dapat diakses oleh siapa saja, di mana saja, termasuk di komunitas dapat memberikan pengaruh negatif pada generasi muda. Meskipun di sisi lain, ini juga dapat menjadi peluang bagi pemuda adat untuk mengembangkan diri dan kreativitasnya dengan memanfaatkan berbagai platform yang tersedia. Pemuda adat dituntut untuk mengembangkan kemampuan untuk bersaing.
"Sejak awal berdirinya, semangat untuk memperkuat komunitas masyarakat adat telah digaungkan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) melalui visi, misi dan berbagai program dan kegiatannya. Mendorong pengakuan, perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat adat dan pengelolaan wilayah adat yang adil dan lestari dimulai dari komunitas. Pemuda adat sebagai garda terdepan untuk melaksanakan citacita Masyarakat Adat, mesti ‘Kembali ke Kampung,’ untuk menyatukan kekuatan dan bekerja sama dengan seluruh elemen di kampung," tambah Mina.
Untuk itu, pada awal tahun 2013, Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) yang merupakan organisasi sayap di bawah AMAN memulai Gerakan Pulang Kampung.
Gerakan Pulang Kampung ini pada intinya memanggil pemuda adat yang ada di kota-kota, untuk pulang, turut melindungi dan mengelola wilayah adatnya. Sebagai respons dari panggilan ini, banyak pemuda adat yang kemudian pulang ke kampung, memulai berbagai inisiatif di komunitasnya dengan membangun sekolah-sekolah adat, mengembangkan usaha wisata berbasis budaya, pertanian organik, kebun herbal dan sebagainya.
Gerakan Pulang Kampung menjadi sebuah inisiatif yang sangat diperlukan demi kesinambungan upaya menjaga eksistensi wilayah adat. Pemuda adat menjadi penerus yang tidak tergantikan.
Potensi yang dimiliki oleh pemuda adat juga diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang pada peringatan HIMAS pada 9 Agustus tahun ini mengangkat tema khusus tentang peran penting pemuda adat dalam menentukan masa depan masyarakat adat di dunia.
HIMAS merupakan upaya PBB untuk terus mengingat kontribusi masyarakat adat pada dunia.
Apresiasi Gerakan Pulang Kampung
Staf Khusus Presiden RI Bidang Pendidikan, Inovasi, dan Daerah Terluar Billy Mambrasar menyampaikan apresiasinya untuk Gerakan Pulang Kampung di tengah kabar ramainya warga negara Indonesia memilih mengganti kewarganegaraan.
Gerakan Pulang kampung ini, sebut Billy, mendorong tren kembalinya anak-anak ke kampung halaman. Salah satunya seperti di Luwu Utara
"Pemuda-pemudi memiliki kesempatan untuk menjadi penggerak, pendorong, dan pendobrak ekonomi dari berbagai sektor di Kabupaten Luwu Utara. Sektor pertanian, kelautan, perikanan, dan pariwisata menjadi andalan. Anak-anak muda menjadi para local champion dan menginspirasi pemuda-pemudi lain untuk ikut terlibat. Mengambil kisah contoh sukses yang saya lakukan sebagai duta pembangunan berkelanjutan dan juga perintis dari konsep Papua Interactive Hub, di mana kami sedang menggerakkan ribuan anak Papua untuk kembali membangun provinsi paling timur di Indonesia ini, maka hal serupa dapat kita lakukan juga di daerah Luwu Utara dan daerah lainnya," tutur Billy.
Tokoh Anak Muda Rongkong Charles Pasadjangan menjelaskan tentang upayanya mendorong kesediaan pangan di kampung, wilayah adatnya, dan mengajak anak-anak muda untuk kembali ke sana. Namun, dia juga menyadari bahwa sulit untuk mengajak para pemuda pulang dari rantau karena keterbatasan lapangan pekerjaan. Pandemi COVID-19 tiga tahun lalu menjadi titik balik yang menarik anak muda untuk pulang hingga saat ini.
"Kami menyadari bahwa tanah kami punya potensi karena subur dan sangat luas. Lalu, kami menggalang anak muda adat Amboan di Kecamatan Rongkong, Kabupaten Luwu Utara, yang tergerak untuk melakukan penanaman sayur, buah dan budi daya ikan mas. Melihat hasilnya, semakin banyak yang tertarik ikut menanam. Akhirnya bukan hanya kelompok pemuda yang menanam sayuran, tetapi masyarakat juga ikut menanam. Produksi menjadi tinggi sehingga pedagang datang untuk mengambil stok di Rongkong. Kami sempat mencapai produksi sebanyak 1 ton cabai per minggu," ungkap Charles.
Banyak yang merasakan manfaat dari Gerakan Pulang Kampung, seperti adanya manfaat ekonomi bagi pemuda dan masyarakat. Inisiatif ini semakin membuka cara pandang anak-anak muda tentang potensi ekonomi dan bahwa lapangan pekerjaan sesungguhnya itu juga ada di kampung. Jika wilayah adat dikelola dan dikembangkan dengan baik, bisa mendatangkan manfaat bagi pemuda dan Masyarakat Adat untuk mandiri secara ekonomi. Selain itu, mereka juga dapat menjaga tanah-wilayah adat titipan leluhurnya.
Advertisement
Sekolah Adat Sebagai Gerakan Pelestarian Sistem Pendidikan Adat
Selain untuk ketahanan pangan, Gerakan Pulang Kampung juga untuk melestarikan budaya setempat. Misalnya melalui sanggar-sanggar seni, transfer pengetahuan, dan membangun sekolah adat. Saat ini telah terbentuk 90 sekolah adat di berbagai komunitas masyarakat adat, yang digagas oleh pemuda adat dengan didukung para tetua di komunitas.
"Awalnya, hampir semua Sekolah Adat ini digagas, dibentuk dan dijalankan oleh pemuda adat. Tentunya dengan restu dan dukungan dari para tetua. Para pemuda adat berperan sebagai pengurus dan fasilitator, para tetua menjadi tenaga pengajar utama, yang mengajarkan berbagai pengetahuan berbasis adat budaya di komunitas. Ada beragam pengetahuan yang diajarkan di sekolah adat, contohnya pengetahuan tentang pangan lokal, obat tradisional, sistem pertanian tradisional, aturan-aturan, beragam seni budaya dan lain-lain. Selain sebagai penggagas, pemuda adat juga kerap terlibat sebagai pengajar, terutama yang berkaitan dengan pengetahuan umum," ujar penanggung jawab urusan sekolah adat di AMAN Marolop Manalu.
Marolop yang mendampingi 90 sekolah adat yang bernaung di AMAN meneruskan bahwa sekolah adat merupakan upaya untuk mendekatkan kembali pemuda adat pada wilayah adatnya.
"Sebetulnya pendidikan adat bukanlah hal yang baru. Hampir semua komunitas memiliki sistem pendidikannya sendiri, yang kita kenal sebagai living school. Di tengah perkembangan arus modernisasi, sekolah adat merupakan upaya untuk kembali mengingatkan pemuda Adat pada jati diri dan identitas mereka sebagai pemuda adat. Karena menyadari pentingnya penerusan pengetahuan antar generasi ini, maka dalam perkembangannya, pembentukan sekolah adat juga sudah mulai banyak diinisiasi oleh para tetua," tutur Marolop.
Sekolah Adat Sintang Bentuk Pelestarian Budaya Masyarakat Adat
Sejalan dengan itu, BPAN baru saja mendeklarasikan peresmian sekolah adat di Sintang pada 24-26 Maret 2023. Sebagai organisasi pemuda adat, BPAN saat ini sudah memiliki 97 wilayah kepengurusan di seluruh nusantara dengan anggota 10-60 orang pengurus.
Sekolah adat itu sendiri bentuknya sesuai dengan kondisi masyarakat adat, sehingga semuanya berasal dari, oleh, dan untuk masyarakat adat.
"Salah satu sekolah adat yang diresmikan tahun ini adalah sekolah adat di Sintang oleh Masyarakat Adat Dayak Lebang. Seiring dengan menyempitnya wilayah adat karena pembukaan kebun sawit, ancaman terhadap kepunahan pengetahuan tradisional pun semakin nyata, sehingga warga bersama pemuda adat pun bersama-sama membangun sekolah adat sebagai wadah untuk menjaga dan memelihara pengetahuan tradisional, adat, dan budaya bagi generasi penerus," kata Ketua Umum BPAN periode 2022-2026 Michelin Salatta.
Sekolah adat memiliki kegiatan yang berbeda dibandingkan dengan sekolah umum. Mirip dengan sekolah kehidupan, mereka mengajarkan berbagai aspek yang berkaitan dengan adat istiadat. Siswa sekolah adat diberi pelajaran tentang cara bercocok tanam padi, norma-norma adat, serta tarian, makanan, dan permainan tradisional. Mereka juga mempelajari tentang hutan, termasuk jenis-jenis tumbuhan dan hewan yang hidup di dalamnya. Para pengajar di sekolah ini adalah para tetua kampung yang memiliki pengetahuan luas, dan salah satu materi yang mereka sampaikan adalah ilmu astronomi tradisional yang berhubungan dengan kegiatan pertanian.
Dewan Pemuda Adat Nusantara (DePAN) Natalia Kori menjelaskan tentang pendirian Sekolah Adat Dayak Lebang dan mimpi besarnya supaya anak muda adat berani untuk tampil.
"Semua orang di masyarakat adat bisa jadi guru selama punya pengetahuan adat/tradisional. Pendidikan adat menyiapkan pemimpin generasi penerus wilayah adat. Ada beberapa prinsip terkait sekolah adat, di antaranya pendidikan adat sesuai dengan kehidupan sehari-hari masyarakat adat dan pendidikan adat dirancang untuk mencapai impian bersama. Seluruh prinsip ini mengedepankan masa depan generasi muda adat agar kebudayaan yang ada bisa tetap lestari," jelas Natalia.
Legitimasi Keterlibatan Masyarakat Adat dalam Menjaga Alam
Pemerintah daerah yang sudah melegitimasi keterlibatan masyarakat adat dalam menjaga alam adalah Provinsi Papua Barat, yang menerapkan 14 butir Deklarasi Manokwari terkait dengan implementasi pembangunan berkelanjutan, termasuk di dalamnya meningkatkan 70 persen perlindungan tata ruang hutan Provinsi Papua Barat yang melibatkan masyarakat adat dalam pengelolaannya.
Provinsi Papua Barat memiliki kawasan strategis yaitu Mahkota Permata Tanah Papua (Crown Jewel of Tanah Papua/CJoTP) yang memiliki fungsi lindung, keanekaragaman hayati, dan budaya.
Direktur Eksekutif Mahkota Permata Tanah Papua Foundation Novi Hematang menjelaskan Mahkota Permata Tanah Papua Foundation sebagai integrated management landscape, yaitu pengelolaan sistem produksi dan sumber daya alam di suatu kawasan yang cukup luas untuk menghasilkan jasa ekosistem vital dan cukup kecil yang dapat dikelola oleh masyarakat setempat.
Masyarakat Adat yang berperan sebagai pelindung alam dilibatkan penuh dalam steering committee dari CJoTP, yang terdiri dari pemerintah provinsi, kabupaten, dan masyarakat adat yang diwakili oleh pemuda adat. Seluruh elemen masyarakat dan struktur pemerintahan terlibat dalam pengelolaan kawasan yang terintegrasi dalam rencana pemerintah daerah.
Kawasan Mahkota Permata Tanah Papua seluas 2,3 juta hektare ini meliputi empat kabupaten, yaitu Kabupaten Manokwari Selatan, Kabupaten Teluk Bintuni, Kabupaten Tambrauw, dan Kabupaten Pegunungan Arfak. Kawasan ini terdiri dari kawasan lindung atau konservasi, kawasan penyangga, dan kawasan yang sudah menjadi permukiman.
Advertisement