Kesaksian Dokter Asal Australia: Jumlah Anak-anak Gaza yang Tewas atau Cacat Akibat Serangan Israel Sangat Ekstrem

Natalie Thurtle, seorang dokter emergensi medik yang biasanya berbasis di Tasmania, berada di Yerusalem Timur dari awal November hingga pekan lalu untuk membantu mengoordinasikan operasi medis MSF di Jalur Gaza.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 23 Des 2023, 09:35 WIB
Diterbitkan 23 Des 2023, 09:35 WIB
Simbol Korban dan Penderitaan Anak-Anak akibat Perang Hamas-Israel
Sepatu anak-anak dipajang di Zagreb, pada 15 Desember 2023, dalam sebuah demonstrasi oleh para aktivis perdamaian yang ingin mengecam perang di Jalur Gaza yang mengakibatkan penderitaan pada anak-anak. (DENIS LOVROVIC/AFP)

Liputan6.com, Canberra - Seorang dokter asal Australia yang mengoordinasikan bantuan medis ke Jalur Gaza mengungkapkan kengeriannya atas dampak serangan Israel.

Natalie Thurtle membantu mengawasi respons Medecins Sans Frontieres (MSF) atau Dokter Lintas Batas hingga pekan lalu. Dia mengatakan sangat menantang bagi rekan-rekannya yang mencoba memberikan layanan kesehatan ketika ada kemungkinan untuk ditembak melalui jendela rumah sakit.

Ketika jumlah warga Palestina yang tewas di Jalur Gaza melampaui angka 20.000, Thurtle menekankan tidak mungkin untuk memberikan tanggapan yang berarti terhadap bencana ini karena aktivitas militer terus berlangsung.

"Semakin banyak pasien yang terdampak situasi ini setiap harinya ... orang-orang tidak mempunyai tempat yang aman untuk dituju," kata Thurtle dalam wawancara dengan Guardian Australia, seperti dilansir Sabtu (23/12/2023).

Thurtle, seorang dokter emergensi medik yang biasanya berbasis di Tasmania, berada di Yerusalem Timur dari awal November hingga pekan lalu untuk membantu mengoordinasikan operasi medis MSF di Jalur Gaza.

Dia melakukan kontak sehari-hari dengan dokter di wilayah itu saat mereka merencanakan respons layanan kesehatan. Dia menggambarkan situasinya sangat kacau dan sangat sulit dikelola.

"Beberapa rumah sakit yang masih beroperasi penuh dengan pasien dan pengungsi internal," ujar Thurtle.

"Keadaannya semakin tidak aman, sebagaimana dibuktikan dengan serangan terhadap Rumah Sakit Nasser beberapa hari lalu ... dan sekarang Rumah Sakit al-Awda dikepung oleh pasukan Israel."

Thurtle mengatakan antara 150 dan 200 pasien tiba di Rumah Sakit Al-Aqsa di Gaza Tengah setiap hari, "Namun, sekitar sepertiga dari pasien tersebut meninggal saat tiba, rasanya sangat sulit karena banyak dari mereka adalah anak-anak."

"Dari pembicaraan dengan rekan-rekan dan melihat gambar-gambar yang mereka lihat, jumlah anak-anak yang dibunuh atau diamputasi dalam konflik ini sangatlah ekstrem," tutur Thurtle.

"Sayangnya, ada banyak informasi yang salah mengenai hal ini, namun itulah yang kita saksikan di lapangan – bahwa ada banyak sekali anak-anak yang dibunuh atau cacat seumur hidup akibat konflik ini."

Rekan Thurtle, Chris Hook, yang merupakan pemimpin tim medis MSF di Jalur Gaza, turut menggambarkan kengerian yang dialami anak-anak Palestina sana. Para dokter di Rumah Sakit Nasser, kata dia, melangkahi jenazah anak-anak yang meninggal untuk merawat anak-anak lain yang nantinya akan meninggal.

Thurtle mengatakan MSF angkat bicara karena merasa mempunyai tanggung jawab untuk menjelaskan apa yang dilihat dan dialami stafnya, mengingat ada banyak sekali komentar dari orang-orang yang tidak menyaksikan langsung apa yang terjadi di lapangan.

"Saya pikir kami telah dituduh kehilangan netralitas selama konflik ini, namun penting untuk dicatat bahwa melaporkan apa yang disaksikan secara langsung sebagai petugas kesehatan tidak berarti hilangnya netralitas," tegasnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Israel Targetkan Infrastruktur Layanan Kesehatan Gaza Secara Sistematis

Bayi Prematur Gaza
Evakuasi bayi-bayi tersebut, yang berada di Rumah Sakit Al Shifa, dilakukan atas koordinasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB. (AP Photo/Fatima Shbair)

Otoritas kesehatan Jalur Gaza pada Jumat (22/12) mengumumkan bahwa total korban tewas akibat serangan Israel di Jalur Gaza mencapai 20.057 orang, sementara lebih dari 52.000 lainnya terluka.

Pemerintah Amerika Serikat (AS) dan Israel sebelumnya merujuk pada fakta Jalur Gaza diperintah oleh Hamas sebagai alasan untuk skeptis terhadap angka-angka tersebut, namun para pejabat PBB dan kelompok hak asasi manusia menyatakan angka-angka tersebut cenderung dapat diandalkan.

Thurtle mengaku MSF tidak dapat memverifikasi keseluruhan jumlah korban tewas dan cedera di Jalur Gaza. "Namun, tentu saja dengan apa yang kami lihat dalam hal jumlah orang yang tiba di fasilitas tempat kami bekerja, angka tersebut bukanlah hal yang aneh sama sekali."

Israel berulang kali mengklaim pihaknya menargetkan Hamas dan berusaha sekuat tenaga menghindari kematian warga sipil, termasuk dengan mengeluarkan peringatan evakuasi jika memungkinkan.

Ketika ditanya apakah pernyataan tersebut sesuai dengan situasi di lapangan, Thurtle blak-blakan mengatakan infrastruktur layanan kesehatan telah ditargetkan secara sistematis.

MSF menyebutkan dua orang tewas di Kota Gaza ketika bepergian dengan mobil MSF yang teridentifikasi dengan jelas pada 18 November. Semua elemen, sebut mereka, menunjukkan tanggung jawab tentara Israel atas serangan ini.


Argumentasi Hamas Vs Peringatan Australia dan Prancis

Pemakaman Massal di Palestina
Warga mendoakan jenazah orang yang tewas dalam pemboman Israel yang dibawa dari Rumah Sakit Shifa sebelum menguburkan mereka di kuburan massal di Kota Khan Younis, Jalur Gaza selatan, Palestina, Rabu (22/11/2023). Puluhan jenazah orang tak dikenal dimakamkan di kuburan massal di Khan Yunis. (AP Photo/Mohammed Dahman)

Duta Besar Israel untuk Australia Amir Maimon mengatakan dia telah meyakinkan pemerintah federal bahwa negaranya berusaha menghindari kematian warga sipil, sambil berargumentasi bahwa Hamas menggunakan penduduk Gaza sebagai perisai manusia.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri Australia Penny Wong mengatakan pihaknya konsisten menegaskan hak Israel membela diri sebagai tanggapan terhadap serangan Hamas ke Israel selatan pada 7 Oktober, yang disebut menewaskan setidaknya 1.139 orang.

"Dengan melakukan hal ini, kami telah mengatakan bahwa Israel harus menghormati hukum kemanusiaan internasional," ujar Wong pekan lalu.

"Warga sipil dan infrastruktur sipil, termasuk rumah sakit, harus dilindungi."

Perdana Menteri Anthony Albanese mengatakan kepada Lowy Institute bahwa dia adalah pendukung kuat Israel dan hak-hak warga Palestina atas keadilan.

"Saya rasa belum ada orang yang memiliki pola yang sempurna saat ini, namun sangat jelas bahwa membedakan antara Hamas dan rakyat Palestina adalah hal penting," kata Albanese.

Dari Prancis, Presiden Emmanuel Macron menyuarakan hal senada pada Rabu.

"Kita tidak bisa membiarkan gagasan bahwa perang yang efisien melawan terorisme berarti meratakan Gaza atau menyerang penduduk sipil tanpa pandang bulu," ungkap Macron.

Infografis PBB Serukan Resolusi Gencatan Senjata di Gaza. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis PBB Serukan Resolusi Gencatan Senjata di Gaza. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya