Liputan6.com, Gaza - Aktivis hak asasi manusia yang berbasis di Jalur Gaza, Ayman Lubbad, tidak bertemu dengan istri dan ketiga anaknya selama lebih dari sebulan, sejak dia diperintahkan untuk membuka pakaian dalam di jalan di luar rumahnya kemudian dibawa pergi bersama pria Palestina lainnya selama seminggu.
Dia mengaku ditahan, dianiaya, dan dipermalukan. Kisah Lubbad adalah satu dari banyak laporan tentang kekejian terhadap tahanan Palestina di penjara Israel yang diangkat oleh media Israel, Haaretz, khususnya pasca perang terbaru di Jalur Gaza yang dimulai pada 7 Oktober 2023. Enam orang tewas sejak saat itu.
Baca Juga
Laporan Haaretz menunjukkan, setidaknya dua orang tewas mengalami kekerasan.
Advertisement
Sementara itu, investigasi Reuters dan +972 magazine seperti dikutip dari The Guardian, Senin (22/1/2024), menemukan bahwa ratusan warga Jalur Gaza yang ditahan dalam serangan militer Israel telah menghadapi ragam metode penyiksaan, termasuk sengatan listrik, rokok dan korek api, posisi stres dan kurang tidur, serta makanan dan fasilitas toilet.
Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengaku semua tuduhan perilaku tidak pantas di fasilitas penahanan diselidiki secara menyeluruh dan bahwa tersangka yang digeledah demi alasan keamanan selama penangkapan harus diizinkan untuk berpakaian kembali sebelum ditahan. Juru bicara IDF menambahkan hukum dan peraturan militer Israel tidak mengizinkan tindakan hukuman seperti yang dijelaskan (Lubbad).
Ketika Lubbad dibebaskan tanpa dakwaan, dia berada di Rafah, ujung selatan Jalur Gaza. Sementara itu, keluarganya masih di rumah mereka di utara Beit Lahia.
Militer Israel memisahkan mereka, kata Lubbad, warga Palestina tidak diperbolehkan bergerak ke utara dan keluarganya tidak ingin mengambil risiko perjalanan berbahaya ke selatan melalui zona perang aktif.
Mereka dipisahkan pada 7 Desember 2023, militer Israel melalui pengeras suara memerintahkan semua orang di daerah tersebut untuk mengungsi dari rumah mereka. Wanita dan orang lanjut usia dikirim ke rumah sakit Kamal Adwan terdekat. Laki-laki diperintahkan untuk membuka pakaian hingga pakaian dalam mereka di jalan.
Kekejian Pasukan Israel
Foto-foto puluhan pria hampir telanjang yang berlutut di tengah jalan yang rusak dan dingin pada suatu pagi di Desember 2023 memicu kemarahan di seluruh dunia. Amerika Serikat (AS) mengatakan foto-foto itu sangat meresahkan dan Komite Palang Merah Internasional menekankan para tahanan harus diperlakukan dengan kemanusiaan dan bermartabat.
Lubbad, yang bekerja di Pusat Hak Asasi Manusia Palestina, mengenali dirinya di beberapa foto. Tahanan sipil lainnya yang diidentifikasi oleh teman, keluarga dan majikan termasuk seorang remaja, seorang pria berusia 70-an, dan seorang jurnalis terkenal.
Saat para pria nyaris terlanjang tersebut menunggu, ungkap Lubbad, beberapa tentara Israel melepaskan tembakan, melukai tangan seorang pemuda, sementara yang lain mempermalukan mereka dan menghancurkan rumah-rumah.
"Tentara Israel memotret kami secara tidak pantas dan memaksa beberapa anak laki-laki yang ditahan untuk menari. Mereka membakar rumah keluarga Muqayd, Mahdi, Kahlot, dan Sorour di depan kami," ujar Lubbad.
Dua jam kemudian Lubbad dibawa ke pantai dekat kibbutz Zikim, kemudian diangkut dengan tangan diborgol dan mata ditutup ke sebuah kamp tentara yang menurut tentara adalah Ofakim.
Di sana warga Gaza digiring ke tempat perlindungan yang dikelilingi kawat berduri, antara 500 dan 700 orang diawasi oleh dua pos penjagaan tentara Israel. Para lelaki harus berlutut, mata mereka tertutup, dari pukul 05.00 hingga tengah malam.
"Setiap upaya untuk mengubah posisi atau membuka penutup mata akan mengakibatkan hukuman, termasuk berdiri dengan tangan terangkat di atas kepala selama sekitar tiga jam dan pemukulan," tutur Lubbad.
Interogasi berlangsung dengan penyelidik mengejek pekerjaannya, "Saya akan mengajari Anda hak-hak Anda dengan baik di penjara."
Lima hari setelah dia disuruh keluar dari rumahnya, dia dipindahkan lagi. Dia mengatakan dia dipukuli di bagian tulang rusuk saat beraktivitas dan merasakan sakit yang sangat parah, sehingga tidak bisa tidur selama dua malam.
Tahanan lain mengatakan kepadanya bahwa fasilitas baru berada di lingkungan Jabal Mukaber di Yerusalem. Dia dibawa pada tengah hari pada hari pertamanya di sana untuk diinterogasi selama 10 jam. Pelaku interogasi memulai wawancara dengan memberi tahu Lubbad bahwa dia sakit jiwa dan tidak minum obat.
Pria yang menginterogasinya lantas meminta informasi tentang Hamas dan Jihad Islam Palestina. Ketika Lubbad mengatakan dia adalah seorang aktivis sipil yang tidak mengetahui tentang kelompok-kelompok bersenjata tersebut, pria itu menjadi semakin marah dan mengatakan bahwa penduduk Gaza akan diperlakukan seperti anjing.
"Penyidik ​​mengancam dan memaki saya dengan kata-kata tidak senonoh sambil memukul wajah saya. Dia menutup mata saya dan pergi minum teh atau makan siang," ungkap Lubbad.
"Sekembalinya dia, dia akan menanyakan pertanyaan yang sama kepada saya tentang Hamas dan saya akan menjawab bahwa saya tidak mengetahui rinciannya dan bahwa hubungan sosial saya sangat terbatas."
Menjelang akhir wawancara, matanya ditutup dan diajak duduk di luar pada malam yang dingin, di mana dia bisa mendengar orang lain dipukuli.
"Setelah saya tidak tahan dengan suhu dingin yang ekstrem, beberapa tentara datang dan memukuli saya dan mengatakan kepada saya 'setiap anjing punya harinya'," tutur Lubbad, yang menganggapnya sebagai ancaman pembunuhan.
Advertisement
Israel Klaim Lakukan Penyelidikan Menyeluruh
Pusat penahanan yang disinggahi Lubbad sebagian besar menampung ratusan warga Gaza yang bekerja di Israel ketika Hamas menyerang pada 7 Oktober. Pada Rabu (13/12) larut malam, para tahanan dibangun dan tentara Israel mulai menghitung.
"Kami melihat mereka membawa beberapa borgol dan kotak-kotak lain yang berisi barang-barang para tahanan. Bus sipil bermunculan, kami segera tahu mereka akan membebaskan kami. Saat kami naik bus, tentara memborgol tangan dan kaki kami. Setiap dua tahanan diikat menjadi satu," kisah Lubbad.
Mereka dibawa hingga mencapai penyeberangan Kerem Shalom dan diminta untuk menyeberang kembali ke Jalur Gaza dengan berjalan kaki.
"Saya tidak punya apa pun kecuali kartu identitas saya," kata Lubbad.
Dia segera menghubungi istri dan anak-anaknya untuk memberi tahu mereka bahwa dia telah dibebaskan dan kembali ke Jalu Gaza, lalu pergi mencari tempat berlindung di Rafah.
Malang, intensitas perang Hamas Vs Israel di Jalur Gaza hanya menyisakan sedikit waktu untuk menarik napas. Kebebasan Lubbad disambut tragedi baru. Satu jam setelah dia menyeberang kembali ke Gaza, serangan udara Israel menewaskan saudara laki-lakinya.