Liputan6.com, Riyadh - Arab Saudi menekankan tidak akan menormalisasi hubungan dengan Israel atau berkontribusi pada rekonstruksi Jalur Gaza tanpa pendirian negara Palestina merdeka. Pernyataan yang disampaikan oleh Menteri Luar Negeri (Menlu) Pangeran Faisal bin Farhan menandai kali pertama pejabat Arab Saudi menyatakan hal itu secara langsung.
"Apakah Anda mengatakan dengan tegas bahwa jika tidak ada jalur yang kredibel dan tidak dapat diubah menuju negara Palestina, tidak akan ada normalisasi hubungan antara Arab Saudi dan Israel?" tanya Fareed Zakaria dari CNN, seperti dilansir AP, Selasa (23/1/2024).
Baca Juga
Pangeran Faisal menjawab, "Itulah satu-satunya cara kita mendapatkan keuntungan. Jadi, iya."
Advertisement
Sebelumnya dalam wawancara yang sama, ketika ditanya apakah Arab Saudi akan membiayai rekonstruksi di Jalur Gaza yang hancur oleh serangan membabi buta Israel, Pangeran Faisal memberikan jawaban serupa.
"Selama kita bisa menemukan jalan menuju solusi ... maka kita dapat membicarakan apa saja," ujarnya. "Namun, jika reset ke status quo sebelum 7 Oktober ... kami tidak tertarik membahasnya."
Sebelum serangan Hamas terhadap Israel pada 7 Oktober 2023, Amerika Serikat (AS) telah menjadi perantara perjanjian penting, di mana Arab Saudi akan menormalisasi hubungan dengan Israel dengan imbalan jaminan keamanan AS, bantuan dalam membangun program nuklir sipil, dan kemajuan menuju penyelesaian konflik Israel-Palestina.
Perdana Menteri (PM) Benjamin Netanyahu, pada September lalu, mengonfirmasi Israel berada di "puncak" kesepakatan semacam itu. Namun, hingga detik ini, Netanyahu konsisten menolak pendirian negara Palestina merdeka dan menginginkan kontrol penuh atas Jalur Gaza.
Dalam pertemuan pada Senin, para menteri luar negeri Uni Eropa turut menggarisbawahi bahwa pembentukan negara Palestina adalah satu-satunya cara untuk mencapai perdamaian. Mereka menyatakan keprihatinan atas penolakan Netanyahu terhadap gagasan tersebut.
Korban Tewas di Jalur Gaza Melampaui 25.000 Orang
Serangan Israel sejak 7 Oktober 2023, menurut otoritas kesehatan Gaza, telah menewaskan sedikitnya 25.295 orang dan melukai lebih dari 60.000 orang. Sekitar dua per tiga dari mereka yang tewas adalah perempuan dan anak-anak.​
Sekitar 85 persen penduduk Jalur Gaza telah meninggalkan rumah mereka, mencari perlindungan yang sulit didapat di wilayah selatan ketika Israel terus menyerang seluruh wilayah kantong tersebut. Para pejabat PBB mengatakan satu dari empat orang di Gaza kelaparan karena pertempuran dan blokade yang dilakukan Israel menghambat pengiriman bantuan kemanusiaan.
Perang di Jalur Gaza juga memicu ketegangan di seluruh kawasan. Kelompok-kelompok yang didukung Iran di Lebanon, Suriah, Irak, dan Yaman menyerang sasaran-sasaran Israel dan AS.
Militer Israel mengklaim mereka telah membunuh sekitar 9.000 anggota Hamas, tanpa memberikan bukti, dan menyalahkan tingginya angka kematian warga sipil di Jalur Gaza pada Hamas karena beroperasi di daerah padat permukiman.
Advertisement
Netanyahu di Bawah Tekanan
Netanyahu telah berjanji melanjutkan serangan ke Jalur Gaza sampai mencapai kemenangan penuh atas Hamas dan memulangkan semua sandera yang tersisa. Hampir setengah sandera yang ditawan pada 7 Oktober dibebaskan dalam perjanjian gencatan senjata pada November.
Namun, masyarakat Israel semakin terpecah mengenai pertanyaan apakah mungkin melakukan keduanya. Hamas diyakini menawan para sandera di terowongan bawah tanah dan menggunakan mereka sebagai tameng bagi para pemimpin puncaknya.
Israel sejauh ini hanya berhasil menyelamatkan satu sandera, sementara Hamas mengatakan beberapa sandera tewas dalam serangan udara Israel atau selama operasi penyelamatan yang gagal. Klaim tersebut tidak dapat dikonfirmasi secara independen.
Pada Senin, puluhan anggota keluarga para sandera menyerbu sebuah pertemuan komite di Parlemen Israel, sambil berteriak, "Anda tidak layak duduk di sini, sementara mereka sekarat di sana!"
Pertemuan tersebut sempat dihentikan sementara, namun kemudian dilanjutkan kembali.
Sejumlah kerabat para sandera dan pengunjuk rasa lainnya, telah mendirikan tenda di luar kediaman Netanyahu di Yerusalem dan berjanji untuk tetap tinggal di sana sampai kesepakatan tercapai untuk memulangkan sisa tawanan. Sebagian demonstran juga menyuarakan tuntutan lain: penyelenggaraan pemilu segera.
Hamas sendiri mengatakan pihaknya hanya akan membebaskan lebih banyak tawanan sebagai imbalan atas berakhirnya perang di Jalur Gaza dan pembebasan ribuan tahanan Palestina - persyaratan yang dengan tegas ditolak Netanyahu.
Netanyahu, yang popularitasnya anjlok sejak 7 Oktober, pada saat yang sama menghadapi tekanan dari AS untuk beralih ke operasi militer yang lebih tepat dan berbuat lebih banyak untuk memfasilitasi bantuan kemanusiaan. Namun, koalisi pemerintahan Netanyahu terikat pada partai-partai sayap kanan yang ingin meningkatkan serangan, mendorong emigrasi sukarela ratusan ribu warga Palestina dari Jalur Gaza, dan membangun kembali permukiman Yahudi di sana.