Liputan6.com, Ghazni - Taliban dikabarkan melakukan eksekusi mati terhadap pelaku pembunuhan.
Menurut seorang jurnalis AFP di tempat kejadian. Pihak berwenang Taliban secara terbuka mengeksekusi dua pria yang dihukum karena pembunuhan di sebuah stadion sepak bola di Afghanistan timur pada hari Kamis (22 Februari 2024).
Baca Juga
Kedua pria tersebut dieksekusi dengan beberapa tembakan di Kota Ghazni, setelah pejabat Mahkamah Agung Atiqullah Darwish membacakan surat perintah kematian yang ditandatangani oleh Pemimpin Tertinggi Taliban Hibatullah Akhundzada.
Advertisement
"Kedua orang ini dihukum karena tindak pidana pembunuhan," kata Darwish. "Setelah dua tahun diadili di pengadilan negara tersebut, perintah tersebut telah ditandatangani."
Ribuan orang berkumpul di stadion untuk menyaksikan eksekusi tersebut.
Keluarga korban laki-laki yang dihukum hadir, termasuk perempuan dan anak-anak, dan ditanya apakah mereka ingin memberikan penangguhan hukuman pada menit-menit terakhir kepada terpidana, namun mereka menolak dalam kedua kasus tersebut.
Kerabatnya juga ditawari untuk melakukan eksekusi sendiri, sejalan dengan penerapan hukum Islam oleh pemerintah Taliban, anggota pasukan keamanan akhirnya membunuh kedua pria tersebut setelah mereka menolak.
Mereka yang terkena eksekusi mati diidentifikasi sebagai Said Jamal dan Gul Khan, keduanya bersalah atas pembunuhan dengan pisau pada September 2017 dan Januari 2022, menurut pernyataan Mahkamah Agung.
Pernyataan itu mengatakan Akhundzada telah melakukan "penyelidikan luar biasa" terhadap kasus mereka.
Pemerintahan Taliban Sejatinya Belum Diakui
Pemerintahan Taliban di Kabul sejatinya belum secara resmi diakui oleh pemerintah lain mana pun, sejak mereka mengambil alih kekuasaan pada tahun 2021 dan menerapkan interpretasi ketat terhadap hukum Islam.
Pemimpin Tertinggi Taliban Hibatullah Akhundzada memerintahkan hakim pada tahun 2022 untuk menerapkan sepenuhnya semua aspek hukum Islam – termasuk hukuman "mata ganti mata" yang dikenal sebagai "qisas".
Hukum Islam, atau syariah, bertindak sebagai pedoman hidup umat Islam di seluruh dunia, memberikan panduan mengenai isu-isu seperti kesopanan, keuangan dan kejahatan. Namun, penafsirannya berbeda-beda menurut adat istiadat, budaya, dan aliran pemikiran agama setempat.
Para cendekiawan Taliban di Afghanistan menerapkan salah satu penafsiran paling kejam terhadap aturan tersebut, termasuk hukuman mati dan hukuman fisik yang jarang diterapkan di sebagian besar negara Muslim modern.
Ratusan juta dolar dihabiskan untuk membangun sistem peradilan baru di bawah pemerintahan terakhir yang didukung asing, yang merupakan kombinasi hukum Islam dan sekuler dengan jaksa, pengacara, dan hakim yang berkualitas.
Namun, banyak warga Afghanistan yang mengeluhkan korupsi, penyuapan, dan lambatnya pemberian keadilan.
Advertisement
Eksekusi di Depan Umum Hal Lumrah Selama Pemerintahan Taliban
Eksekusi di depan umum adalah hal biasa selama pemerintahan pertama Taliban dari tahun 1996 hingga 2001.
Eksekusi pada hari Kamis (23/2) ini diyakini merupakan hukuman mati ketiga dan keempat yang dijatuhkan sejak otoritas Taliban kembali berkuasa.
Dua orang pertama juga telah dihukum karena pembunuhan. Namun, ada juga hukuman cambuk di depan umum untuk kejahatan lain, termasuk pencurian, perzinahan, dan konsumsi alkohol.
Eksekusi terakhir yang dilaporkan dilakukan pada Juni 2023, ketika seorang terpidana pembunuh ditembak mati di halaman sebuah masjid di Provinsi Laghman di depan sekitar 2.000 orang.
Misi PBB di Afghanistan, UNAMA, mengutuk penggunaan hukuman mati dalam sebuah postingan di media sosial pada Kamis malam, dan mendesak pihak berwenang "untuk segera menetapkan moratorium penggunaan hukuman mati, sebagai langkah menuju penghapusan hukuman mati".
PBB: Taliban Penjarakan Perempuan Penyintas Pelecehan, Membahayakan Kesehatan Mental dan Fisik Mereka
Selain soal eksekusi mati, Taliban juga jadi sorotan akhir tahun 2023 akibat laporan PBB yang menyebutkan bahwa pemerintahan Taliban di Afghanistan memenjarakan perempuan penyintas pelecehan, mengklaim hal itu demi perlindungan mereka. PBB mengatakan praktik tersebut membahayakan kesehatan mental dan fisik para penyintas.
Dalam laporannya, PBB juga menyatakan tidak ada lagi tempat penampungan perempuan yang disponsori negara karena pemerintah Taliban melihat tidak diperlukannya pusat-pusat tersebut.
Penindasan yang dilakukan Taliban terhadap hak-hak perempuan di Afghanistan disebut adalah salah satu yang paling kejam di dunia.
Misi Bantuan PBB di Afghanistan (UNAMA) mengungkapkan kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dan anak perempuan Afghanistan diketahui tinggi, bahkan sebelum Taliban mengambil alih Afghanistan. Demikian seperti dilansir BBC, Sabtu (16/12/2023).
Namun, ungkap UNAMA, sejak Taliban mengambil alih Afghanistan, insiden seperti ini semakin sering terjadi, mengingat dampak krisis ekonomi, keuangan dan kemanusiaan yang menimpa negara tersebut. Perempuan semakin terkurung di rumah, sehingga meningkatkan kerentanan mereka terhadap kekerasan dalam rumah tangga dan pasangan intim.
Advertisement