Liputan6.com, Jakarta - Tahun 2024 ini merupakan tahun transisi politik Indonesia di akhir 10 tahun masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Oleh karena itu, Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), mengupas lebih dalam tentang arah kebijakan iklim di Indonesia dalam tahun transisi Politik dengan tema 'Indonesia Climate Policy Outlook 2024' yang diselenggarakan pada Jumat (15/3/2024).
Baca Juga
Dalam pantauan Liputan6.com, acara ini dihadiri oleh Dr. Indra Gustari selaku Ketua Program Kerja (Pokja) Prediksi Indeks Iklim, Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG, Andhyta F. Utami CEO Think Policy, Dr. Marlistya Citraningrum Manager Program Akses Energi Berkelanjutan Institute for Essential Service Reform, Nadia Hadad Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, dan Gita Syahrani Ketua Dewan Pengurus Koalisi Ekonomi Membumi.Â
Advertisement
Untuk diketahui, didorong oleh dampak krisis iklim yang semakin parah, serta ambisi penanganan perubahan iklim global yang semakin kuat, Indonesia memerlukan kebijakan dan strategi yang lebih konkret dan ambisius.
Dalam satu tahun terakhir, berbagai kebijakan telah dibentuk untuk mendorong transisi energi dan pengendalian perubahan iklim di Indonesia, mulai dari diresmikannya bursa karbon pertama di Indonesia, penetapan green taxonomy, hingga integrasi pembangunan rendah karbon dalam RPJPN 2025-2045. Meskipun demikian, Indonesia masih bergulat dengan berbagai tantangan.Â
Rencana untuk menurunkan target kebijakan EBT menjadi 17%-19% pada 2025 dari target awal 23% menuai kekhawatiran, diikuti pula dengan dampak krisis iklim yang semakin terasa di Tanah Air, mulai dari kekeringan berkepanjangan yang mengancam keamanan pangan dan ketersediaan air, cuaca ekstrem, serta kerugian pada hilangnya keanekaragaman hayati.
BMKG Menyoroti Dampak Perubahan Iklim yang Semakin Mengkhawatirkan
Pada bulan Februari lalu, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Indonesia mengadakan rapat nasional yang menyoroti dampak perubahan iklim yang semakin mengkhawatirkan terkait suhu dan anomali iklim di Indonesia mengingat bahwa pada Juli 2023 lalu merupakan suhu terpanas di Bumi.Â
"Perubahan iklim yang menjadi isu global itu menjadi consent kita semua dan data yang mengukur atau mengindikasikan kejadian tersebut itu yang selama ini diamati dan direcord oleh BMKG," ujar Dr. Indra Gustari selaku Ketua Program Kerja (Pokja) Prediksi Indeks Iklim, Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG.
Dr. Indra Gustari juga membenarkan bahwa pada bulan Juli 2023 adalah catatan suhu tertinggi yang dilihat, dan Februari 2024 kemarin BMKG mencatat rata-rata suhu di Indonesia tertinggi sejak tahun 1981. "...untuk bulan Februari, jadi kita membandingkan untuk bulan yang sama, kondisi ini tentu saja memberikan dampak kepada kehidupan kita baik dalam kehidupan nyata atau kondisi alam kita," tambahnya.
"Kenaikan suhu ini memberikan dampak pada kenaikan suhu permukaan laut, menyebabkan pengaruh di sektor kesehatan, distribusi penyakit, kemudian di sektor pertanian, distribusi pangan, dan hal lain seperti sektor kebencanaan."
Dr. Indra Gustari juga menambahkan kejadian cuaca dan iklim ekstrem semakin meningkat frekuensinya, dan jika sebelumnya konsentrasi lebih kepada akhir dan awal tahun, pada tahun ini di bulan Maret, terdapat catatan beberapa daerah seperti Sumatera Barat, Jawa Tengah, Madura, Jawa Timur, mengalami banjir cukup tinggi.Â
BMKG mengindentifikasi kebutuhan dari daerah daerah darurat tersebut, dan bekerja sama dengan pihak-pihak terkait.Â
"Untuk pertanian kita (BMKG) mulai menerapkan asuransi pertanian sehingga mengurangi risiko petani terhadap dampak dari perubahan iklim khususnya cuaca ekstrim yang menyebabkan kegagalan produksi," tutur Dr. Indra Gustari.Â
Advertisement
Transisi Politik jadi Periode Krusial untuk Hutan
Tahun 2024 ini merupakan tahun transisi politik Indonesia di akhir 10 tahun masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Era transisi politik ini juga menjadi periode krusial yang biasanya mempengaruhi kebijakan pelepasan kawasan hutan bahkan hutan lindung Indonesia.Â
Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad, menyampaikan bahwa dampak dari perubahan iklim juga dipengaruhi oleh faktor perubahan tata kelola hutan dan tata guna lahan.
"Jadi, kalau tadi ngomong tentang bencana itu juga karena hutan kita (Indonesia) berkurang, hutan kan punya fungsi yang penting dan Indonesia punya hutan hujan terluas ke 3 di dunia, jadi fungsinya itu sangat penting bukan hanya untuk Indonesia tapi untuk dunia," ujar Nadia Hadad.Â
Ia juga menyatakan bahwa hal yang harus didorong adalah penurunan angka deforestasi atau penggundulan hutan.Â
"Memang jika dilihat dari 10 tahun terakhir, angka deforestasi kita memang menurun, namun bukan berarti tidak ada," tambahnya.
Jika dilihat berdasarkan catatan yang dimiliki oleh Yayasan Madani Berkelanjutan, di tahun 2021 dan 2022, masih ada deforestasi sebanyak 210.000 hektar hutan.Â
Hal ini yang sebenarnya harus dicegah dan dijaga.
"Sebenarnya kalau dari segi kebijakan cukup lumayan ya kebijakan yang dibuat, namun yang menjadi tantangan adalah bagaimana kebijakan untuk melindungi hutan," katanya.
"Kita kan sudah ada kebijakan moratorium hutan yang memang sudah tidak boleh lagi memberikan izin baru untuk usaha seperti tambang atau perkebunan."
Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan tersebut menambahkan bahwa terkadang kebijakan tersebut masih tumpang tindih dengan kebijakan sektor lainnya.Â
"Peraturannya sudah ada namun cangkupan hutan yang dilindungi belum cukup, diluar hutan yang sudah dilindungi oleh moratorium, masih ada 9,8 juta hektar hutan yang belum terlindungi."
Â
Tantangan Menghadapi Perubahan Iklim pada Aspek Ekonomi dan Pembangunan
Jika melihat pada era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, seringkali berfokus kepada pembangunan, namun dalam perubahan iklim tentunya perlu melihat kepada aspek ekonomi dan kebijakan pembangunan.
Dalam pembangunan Indonesia, sektor iklim dapat berjalan beriringan dengan pembangunan berkelanjutan.
Andhyta F. Utami (Afu), CEO Think Policy menyampaikan bahwa teori utama perubahan adalah 'kurangnya pasokan untuk aksi iklim yang didorong oleh rendahnya permintaan untuk aksi iklim'.Â
"Pemerintah akan selalu bisa tidak serius terhadap aksi iklim," ujar Afu.Â
"Ketika saya bisa serius atau tidak serius, ini kita membicarakan disonansi atau ketidakkonsistenan atas apa yang mereka bilang akan mereka lakukan atau mereka bilang arah komitmennya ke mana, tapi ternyata kebijakan praktek di lapangannya malah berlawanan dengan target tersebut," tambahnya.
Afu menambahkan hal ini terus terjadi karena pemerintah merasa bahwa masyarakat akan menerima-menerima saja.
"Asal judul ini green, asal ini judulnya green taxonomy ya terima-terima saja, karena masyarakatnya juga belum terlalu... bukan menyalahkan tapi memang artinya ada edukasi gap yang perlu dilakukan agar masyarakatnya mengerti untuk kebijakan yang tepat," papar Afu.Â
"10 tahun ke belakang itu game nya menyatakan bahwa kita memerlukan tindakan iklim, tapi 10 tahun ke depan itu game tentang tindakan iklim yang tepat itu yang mana," imbuh Afu.Â
Dalam konteks pemilu yang baru saja diselenggarakan, membahas tentang green taxonomy "namun menerjemahkan green taxonomy sebagai apa, nah itu gapnya, apakah green taxonomy yang secara substantif, secara struktural mengubah paradigma pembangunan atau masih paradigma kapitalisme asal ada label greennya," ujar Afu.
Sementara itu tahun 2025 mendatang terdapat momentum Rancangan Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Indonesia akan habis, yang mana dokumen ini akan menjadi rencana pembangunan Indonesia 20 tahun ke depan.
Dokumen ini membahas tentang transformasi ekonomi yang membahas tentang bio ekonomi yaitu peningkatan nilai tambah pengolahan sumber daya hayati sebagai bentuk pertumbuhan ekonomi baru. Gita Syahrani, Ketua Dewan Pengurus Koalisi Ekonomi Membumi kemudian menjelaskan tentang model ekonomi membumi.Â
"Salah satu konsep yang memang berkembang bukan cuma di Indonesia tetapi juga di negara-negara dengan keanekaragaman hayati yang mirip seperti di Indonesia seperti Brasil dan Kongo misalnya, yang berkembang itu melihat keanekaragaman hayati dan jasa ekosistem menjadi salah satu modal untuk perkembangan ekonomi," ujar Gita Syahrani.Â
Gita menambahkan bahwa mindset ini bukan bentuk dari eksploitasi melainkan pemanfaatan yang optimal.
"Artinya memperhatikan batas-batas planetari yang tidak bisa dilanggar, daya tampung, daya dukung, dan lenting lingkungan," tambah Gita.
"Sebagai bocoran, di RPJP itu sudah ada analisa daya tampung, daya dukung, dan daya lenting per daerah, jadi disebutkan bahwa sudah ada daerah yang pada tahun 2045, air itu termasuk ke absolut langka, dan itu sudah masuk ke sesuatu yang diakui oleh negara kita."
Ia juga menambahkan jika Indonesia sudah memiliki prediksi tentang daya tampung, daya dukung, dan daya lenting yang sudah jelas, maka penawaran untuk ekonomi adalah Bio Ekonomi.Â
"Terminologi ini sudah masuk ke RPJP dan diterjemahkan sebagai satu sistem ekonomi yang memperhatikan daya tampung, daya dukung, dan daya lenting lingkungan, dan memperlihatkan keanekaragaman hayati itu akan sangat berharga untuk sistem ekonomi kalau dipertahankan dengan baik."
Potensi bio ekonomi ini berarti Indonesia tidak lagi bergelut dengan sektor-sektor ekonomi yang membutuhkan lahan luas.Â
"Hampir dua juta hektar hutan sudah terpotong untuk nikel yang harganya sudah turun," tambah Gita.
Teknologi Iklim Disorot
Dalam diskusi ini juga membahas tentang teknologi iklim yang akhir-akhir ini menjadi berita utama, dan adanya revisi peraturan terkait Pembangkit Listrik Tenaga Surya melalui Peraturan Menteri SDM nomor 2 tahun 2024.Â
Berdasarkan peraturan ini terdapat hal yang perlu diperhatikan dalam perkembangan teknologi iklim dan pengaruhnya terdapat teknologi iklim lainnya.
Dr. Marlistya Citraningrum Manager Program Akses Energi Berkelanjutan Institute for Essential Service Reform, menyampaikan jika membahas tentang energi, maka hal yang paling pertama untuk disadari adalah sebagai manusia tidak bisa hidup tanpa energi.
"Jadi konsep pangan, sandang, papan itu udah enggak relevan, karena ada dua tambahan yaitu colokan alias listrik, dan paketan alias internet," ujar Dr. Marlistya CitraningrumÂ
Persoalan tentang energi yang harus digunakan untuk mendorong pembangunan berasal dari sumber yang lebih bersih atau terbarukan atau mengurangi intensitas energi untuk melakukan aktifitas yang sama.Â
"Dengan kata lain (kita) tidak menghasilkan energi yang lebih tinggi, transisi energi adalah menjawab persoalan itu, tentang gimana caranya beralih dari sistem energi fosil kita saat ini jadi ke sistem energi yang bertumpu pada sumber energi yang berkelanjutan," imbuh Dr. Marlistya Citraningrum.Â
Terkait dengan revisi Peraturan Menteri, Dr. Marlistya Citraningrum menyebut energi yang digunakan saat ini memiliki 4 pilar yaitu, desentralisasi, digitalisasi, dekarbonisasi, dan demokratisasi. Hal ini dikarenakan oleh sumber-sumber energi terbarukan dan berkelanjutan yang bisa digunakan, memiliki sistem yang tersedia di banyak tempat dan bisa dimanfaatkan oleh berbagai kalangan dengan berbagai skala.Â
"Ini engga lagi ngomongin batu bara ada di Kalimantan Timur, lalu hanya bisa digunakan oleh perusahaan besar kemudian harus membangun PLTU 35.000 mega watt, melainkan kita bicara tentang pembangkit energi terbarukan yang bisa dibangun sekecil ukuran rumah atau individu," tegas Dr. Marlistya Citraningrum.
Â
Advertisement