Laporan PBB: Separuh Penduduk Myanmar Jatuh Miskin Akibat Perang Saudara

Pasca kudeta militer yang menggulingkan pemerintahan Aung San Suu Kyi, situasi Myanmar memburuk dengan cepat.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 12 Apr 2024, 17:26 WIB
Diterbitkan 12 Apr 2024, 17:26 WIB
Ilustrasi bendera Myanmar (AFP Photo)
Ilustrasi bendera Myanmar (AFP Photo)

Liputan6.com, Naypyidaw - Myanmar pernah dianggap sebagai salah satu negara dengan perekonomian paling menjanjikan di Asia Tenggara, namun kini negara itu menderita menyusul perang saudara yang menyebabkan puluhan juta orang semakin jatuh ke dalam kemiskinan.

Hampir setengah dari 54 juta penduduk Myanmar berada di bawah garis kemiskinan, di mana 49,7 persen penduduknya hidup dengan pendapatan kurang dari USD 76 sen per hari. Berdasarkan temuan para peneliti dari Program Pembangunan PBB (UNDP), angka tersebut meningkat dua kali lipat sejak tahun 2017. Demikian seperti dilansir CNN, Jumat (12/4/2024).

Tiga tahun setelah kudeta militer, menurut laporan UNDP, situasi ekonomi di Myanmar dengan cepat memburuk ke titik di mana kelas menengah berisiko tersingkir dan keluarga-keluarga terpaksa memangkas pengeluaran terhadap makanan, kesehatan, dan pendidikan karena melonjaknya inflasi.

Para peneliti memberikan gambaran yang mengkhawatirkan bahwa terdapat tambahan 25 persen penduduk Myanmar yang "tergantung pada seutas benang" tepat di atas garis kemiskinan pada Oktober 2023.

"Situasinya kemungkinan akan semakin memburuk pada saat laporan ini diterbitkan," kata para penulis. "Konflik yang semakin intensif telah menyebabkan lebih banyak pengungsi kehilangan mata pencaharian mereka, dan bisnis-bisnis tutup."

Myanmar telah mencapai kemajuan yang pesat dalam mengurangi kemiskinan, terutama sejak dimulainya transisi demokrasi dari pemerintahan militer pada tahun 2011 yang mendorong reformasi ekonomi dan politik.

Pada tahun 2016, negara ini memiliki perekonomian dengan pertumbuhan tercepat di kawasan, menurut Bank Pembangunan Asia, dan data Bank Dunia antara tahun 2011 dan 2019 menyebutkan perekonomian Myanmar tumbuh rata-rata 6 persen per tahun.

Myanmar secara efektif mengurangi separuh tingkat kemiskinannya dari 48,2 persen pada tahun 2005 menjadi 24,8 persen pada tahun 2017. Namun, kudeta militer tahun 2021, yang menggulingkan pemerintahan Aung San Suu Kyi yang terpilih secara demokratis menjerumuskan negara itu ke dalam ketidakstabilan dan kekerasan. Pandemi COVID-19 semakin membalikkan kemajuan tersebut.

Temuan laporan UNDP adalah kemiskinan tidak hanya meningkat dua kali lipat, namun masyarakat juga menjadi semakin miskin.

"Secara keseluruhan, sekitar tiga perempat penduduk berada dalam kemiskinan, namun hal yang paling menakutkan adalah mereka yang saat ini bertahan hidup hanya pada tingkat subsisten saja. Jadi, kedalaman kemiskinan sangatlah besar," kata Kanni Wignaraja, asisten sekretaris jenderal dan direktur regional UNDP untuk Asia.

Wignaraja menyatakan bahwa kelas menengah Myanmar "benar-benar menghilang".

"Turunnya 50 persen kelas menengah dalam dua setengah tahun cukup mengejutkan bagi negara ini dan juga bagi negara mana pun," tambahnya.

Kyat Anjlok

Potret Buram Konflik Kachin, Salah Satu Perang Terlama di Bumi
Tentara Kemerdekaan Kachin berjalan di garis depan di Gunung Hpalap, negara bagian Kachin, Myanmar, 17 Maret 2018. Selain etnis Rohingya, perang saudara juga terjadi antara tentara Myanmar dengan etnis Kachin. (AP Photo/Esther Htusan)

Laporan UNDP didasarkan pada lebih dari 12.000 wawancara yang dilakukan selama tiga bulan antara Juni dan Oktober 2023 dan merupakan salah satu survei nasional terbesar yang dilakukan dalam beberapa tahun terakhir.

Meskipun kemiskinan tersebar luas di seluruh negeri, mereka yang tinggal di zona konflik semakin terjerumus ke dalam kemiskinan, dan perempuan dan anak-anak terkena dampak yang tidak proporsional.

Sejak kudeta, kekuatan perlawanan anti-junta dan tentara etnis telah berperang melawan pasukan militer untuk menggulingkan kekuasaan. Junta militer telah melancarkan serangan yang semakin brutal terhadap rakyat Myanmar, di mana pertempuran darat, serangan udara, dan penggerebekan di desa-desa menyebabkan hampir tiga juta orang mengungsi.

Di Negara Bagian Kayah, tempat terjadinya pertempuran sengit, separuh dari seluruh rumah tangga melaporkan penurunan pendapatan terbesar dibandingkan wilayah mana pun yang disurvei.

Bahkan, mereka yang tidak terkena dampak pertempuran pun menderita. Nilai mata uang lokal Myanmar, kyat, anjlok seiring dengan meningkatnya harga makanan dan kebutuhan dasar lainnya.

Dibutuhkan Intervensi Segera

Potret Polisi Myanmar Pukuli Pengunjuk Rasa
Petugas polisi anti huru hara menahan seorang pengunjuk rasa ketika mereka membubarkan demonstrasi di Kotapraja Tharkata di pinggiran Yangon, Myanmar, Sabtu (6/3/2021). PBB Myanmar mengecam tindakan kekerasan aparat terhadap pendemo dalam aksi damai menolak kudeta militer. (AP Photo)

Investasi asing di Myanmar dilaporkan telah menurun tajam dan jumlah pengangguran yang bermigrasi ke luar negeri meningkat secara signifikan.

Laporan UNDP juga menemukan bahwa PDB Myanmar belum mampu pulih dari penurunan sebesar 18 persen yang dialami pada tahun 2021 karena guncangan ganda akibat krisis politik dan pandemi COVID-19.

"Kami belum pernah melihat daerah perkotaan besar mengalami krisis yang begitu cepat. Jadi daerah sekitar Yangon dan Mandalay terkena dampak yang sangat parah," ungkap Wignaraja.

Tanpa intervensi segera, krisis kemanusiaan akan memburuk "secara eksponensial" dan dampaknya terhadap pembangunan akan bersifat lintas generasi.

"Tanpa intervensi segera untuk memberikan bantuan tunai, ketahanan pangan dan akses terhadap layanan dasar, kerentanan akan terus meningkat, dan dampaknya akan dirasakan lintas generasi," kata Administrator UNDP Achim Steiner.

"Kami menyerukan kepada seluruh pemangku kepentingan – baik di dalam maupun di luar Myanmar – untuk mengambil tindakan dan menjaga rumah tangga yang rentan agar tidak jatuh ke dalam kemiskinan dan keputusasaan yang tidak dapat diubah."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya