Liputan6.com, Perth - Bukan hanya panas samudra yang memengaruhi kehidupan laut saja, studi baru mengungkapkan periode di mana suhu air laut menurun secara signifikan muncul dan menyebabkan kematian beberapa spesies laut secara massal.
Seperti dilansir dari CNN, Minggu (5/5/2024), polusi pemanasan global yang mendorong krisis iklim kemungkinan besar menjadi penyebab adanya "peristiwa pembunuhan" di ujung spektrum suhu yang dingin.
Samudra yang tersebar di seluruh dunia telah dirundung oleh panas yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam setahun terakhir ini, memicu kekhawatiran pada kehidupan laut.Â
Advertisement
Miliaran kepiting dikabarkan menghilang di Pasifik Utara, singa laut dan lumba-lumba yang sakit ditemukan terdampar di tepi pantai, dan terumbu karang ikonik mengalami pemutihan massal.
Meskipun suhu samudra sering meningkat, kejadian ekstrem yang menyebabkan penurunan suhu menjadi sangat dingin juga semakin kuat. Ini terjadi ketika angin kencang dan arus samudra membawa kantong-kantong air dingin ke permukaan, menggantikan air hangat yang ada di sana.Â
Hal tersebut mengancam kehidupan laut, seperti yang diungkapkan oleh sebuah studi yang dipublikasikan dalam jurnal Nature Climate Change pada 15 April.
"Perubahan iklim sebenarnya sangatlah kompleks," kata Nicolas Lubitz, penulis utama studi yang juga merupakan seorang peneliti di James Cook University di Queensland, Australia.Â
"Bukan hanya pemanasan global, tetapi (perubahan iklim) benar-benar mengubah cara bagaimana samudra kita berfungsi," tambah Lubitz.
Diawali dari Pantai Tenggara Afrika Selatan
Lubitz mulai menyelidiki peristiwa ini ketika ia mendengar laporan tentang hewan laut seperti hiu, pari manta, dan cumi-cumi yang ditemukan mati di pantai tenggara Afrika Selatan pada Maret 2021.
Ternyata lebih dari 160 hewan laut dari 81 spesies yang berbeda ditemukan mati dalam satu peristiwa ekstrem tersebut.
Ia mengatakan bahwa kejadian naiknya suhu musimam umum terjadi di daerah tersebut, dengan suhu air yang turun dengan cepat. Tetapi Lubitz mengatakan bahwa kematian massal Maret 2021 itu "merupakan peristiwa ekstrem, karena kami memiliki air (laut) yang cukup hangat sebelum kejadian itu terjadi."
"Kemudian angin berubah, dan arus mulai berubah sedikit, yang merupakan hal musiman," tambahnya. "Lalu tiba-tiba suhu dalam waktu 24 jam turun 11 derajat."
Para peneliti menganalisis kejadian naiknya suhu mematikan di Arus Agulhas Samudra Hindia dan Arus Australia Timur, menggunakan data suhu permukaan laut selama 41 tahun dan catatan angin selama 33 tahun untuk melihat seberapa mematikannya suhu dingin di samudra.Â
Â
Advertisement
Suhu yang Naik Turun
"Kami melihat perubahan dalam seberapa sering naiknya suhu, seberapa intens itu, yang mungkin juga akan memengaruhi komunitas nelayan dai daerah-daerah ini," kata Lubitz. "Ini benar-benar masalah ekonomi yang disertakan dengan masalah keanekaragaman hayati."
Studi tersebut juga mengungkapkan bahwa kefatalan suatu peristiwa yang disebabkan oleh dinginnya suhu kemungkinan terkait dengan seberapa cepat suhu turun.Â
Jika peristiwa suhu dingin berlangsung selama beberapa hari dan terjadi lebih sering, studi menunjukkan bahwa hewan laut termasuk penyu dan banyak spesies ikan bisa menderita hipotermia dan gangguan fisiologis yang akhirnya dapat mati.
Dalam studi yang berbeda, Lubitz juga sudah menandai hiu banteng dengan perangkat penanda lokator pengirim secara elektronik, yang juga dapat merekam kedalaman laut dan suhu bagian dar samudra tempat para hiu berada.Â
Bergantung pada Pantauan Migrasi Hiu
Lubitz kembali mengatakan, "Itulah kunci utama dalam studi ini, bahwa kami bisa melihat kapan hiu bermigrasi."Â
"Kami bisa melihat bagaimana profil suhu berubah dan bagaimana hiu berenang lebih dangkal ketika mereka berada di daerah yang air dingin naik karena mereka mencoba menghindari air yang lebih dingin dari kedalaman."
Temuan ini memberikan "penjelasan yang masuk akal" untuk banyak kejadian kematian mendadak yang tidak terduga yang telah dilihat orang di seluruh dunia, jelas Ajit Subramaniam, profesor penelitian di Climate School's Lamont-Doherry Earth Observatory, Columbia University.
"Ini merupakan salah satu temuan yang tidak terduga dan bukan suatu topik yang sering kita bicarakan," kata Subramaniam, yang tidak terlibat dalam studi tersebut, kepada CNN. "Dan oleh karena itu, ini merupakan hal yang tepat untuk mengingat kita bahwa krisis iklim bekerja dalam dua arah."
Advertisement