Liputan6.com, Kabul - Para pendukung kebebasan pers menyerukan kepada otoritas de facto Taliban di Afghanistan untuk membebaskan seorang wartawan lokal yang dipenjara atas tuduhan yang tidak disebutkan.
Wartawan itu, Habib Rahman Taseer, ditahan oleh badan intelijen Taliban di provinsi Ghazni awal bulan ini.
Baca Juga
Menurut Pusat Jurnalis Afghanistan, atau AFJC, Taseer kemudian dipindahkan ke penjara provinsi pada Rabu (17/4).
Advertisement
"Kami menuntut pembebasannya segera dan tanpa syarat," kata AFJC dalam sebuah pernyataan, seperti dilansir VOA Indonesia, Jumat (19/4/2024).
Para pejabat di Kementerian Informasi dan Kebudayaan Afghanistan, yang menaungi sebuah komisi yang mengatur media, tidak menanggapi permintaan komentar mengenai penahanan Taseer.
Taliban terus melakukan penganiayaan terhadap wartawan dan kontributor yang terkait dengan media Afghanistan yang beroperasi di luar negeri.
Dua wartawan di Afghanistan mengatakan kepada VOA bahwa pihak berwenang Taliban secara rutin melacak individu-individu yang menyediakan konten untuk organisasi-organisasi terlarang tersebut.
"Saya tahu beberapa orang yang ditahan dan baru dibebaskan setelah memberikan jaminan bahwa mereka tidak akan bekerja untuk saluran-saluran terlarang itu," kata salah satu wartawan, yang tidak mau disebutkan namanya karena alasan keamanan.
Pembekuan Saluran TV Swasta
Badan penyiaran Afghanistan pada hari Kamis (18/4) juga mengumumkan pembekuan dua saluran televisi swasta, Noor TV dan Barya TV, dengan alasan dugaan pelanggaran peraturan media. Kasus-kasus tersebut telah dirujuk ke pengadilan Taliban.
Kementerian Penerangan dan Komisi Regulasi Media hanya memberikan penjelasan yang samar-sama mengenai penangguhan stasiun-stasiun televisi yang pemiliknya dilaporkan tinggal di luar Afghanistan.
Taliban mewajibkan pembawa acara berita dan tamu perempuan untuk menutup wajah kecuali bagian mata. Taliban di beberapa daerah bahkan melarang stasiun radio menyiarkan suara perempuan. Pembatasan tersebut dikecam luas dunia internasional karena dianggap misoginis dan menindas.
Namun, sebaliknya para pejabat Taliban menilai kebijakan itu sesuai dengan nilai-nilai Islam dan tradisional.
Advertisement
Taliban Pecat 600 Pegawai Perempuan, Dianggap Langgar Hukum Syariah
Sementara terkait pembatasan terhadap perempuan, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada hari Senin (22/1) mengatakan bahwa pemerintah Taliban di Afghanistan belum lama ini memecat ratusan perempuan karena diduga tidak mematuhi hukum syariah yang diterapkan kepada perempuan di negara itu.
Misi Bantuan PBB di Afghanistan, alias UNAMA, mencatat kasus-kasus pemecatan tersebut dalam laporan terbarunya mengenai kondisi hak asasi manusia selama seperempat akhir tahun 2023 di negara yang jutaan penduduknya membutuhkan bantuan kemanusiaan itu.
"Otoritas de facto terus menegakkan dan mengumumkan batasan-batasan bagi hak perempuan untuk bekerja, mendapatkan pendidikan dan kebebasan bergerak," menurut laporan tersebut.
Pembatasan Terhadap Perempuan
UNAMA mencatat bahwa Kementerian Penyebaran Kebajikan dan Pencegahan Kejahatan Taliban telah mengambil peran sebagai penegak hukum, menghalangi perempuan untuk bekerja atau mengakses berbagai layanan karena belum menikah atau tidak memiliki wali laki-laki.
Laporan itu menyatakan bahwa kurangnya kepatuhan terhadap aturan berhijab atau berpakaian, tidak adanya mahram atau kerabat laki-laki, dan pembatasan terhadap perempuan yang ingin mengunjungi ruang publik, perkantoran atau institusi pendidikan menyebabkan pemecatan sedikitnya 600 perempuan di dua provinsi di Afghanistan selama periode tersebut.
Kementerian di tingkat provinsi melarang 400 perempuan bekerja di pabrik pengolahan kacang pinus di Provinsi Nangarhas pada Oktober tanpa alasan, sementara pegawai laki-laki tetap diizinkan bekerja, ungkap laporan itu.
Advertisement