Laporan JMA: Juli 2024 Jadi Bulan Terpanas di Jepang Sejak Tahun 1898

Badan Meteorologi Jepang (JMA) mengatakan, gelombang panas ekstrem yang dipicu oleh perubahan iklim menjadi alasan utama suhu panas di Negeri Sakura.

oleh Teddy Tri Setio Berty diperbarui 04 Agu 2024, 21:27 WIB
Diterbitkan 04 Agu 2024, 21:27 WIB
Jepang Hadapi Cuaca Panas karena Peningkatan Suhu
Seorang pria yang mengenakan masker wajah untuk membantu melindungi dari penyebaran virus corona mendinginkan diri di titik kabut yang menyejukkan, Tokyo, Jepang, 1 Agustus 2022. Cuaca panas terus berlanjut di wilayah metropolitan karena suhu diperkirakan akan meningkat hingga 35 derajat Celcius (95 derajat Fahrenheit), menurut biro meteorologi Jepang. (AP Photo/Eugene Hoshiko)

Liputan6.com, Tokyo - Badan Meteorologi Jepang (JMA) menyebut, Juli 2024 menjadi bulan terpanas di Negeri Sakura sejak pencatatannya 126 tahun lalu.

Badan tersebut mengatakan, gelombang panas ekstrem yang dipicu oleh perubahan iklim melanda banyak bagian dunia dan menjadi alasan utamanya.

Suhu di negara itu 2,16 derajat Celsius lebih tinggi dari rata-rata, memecahkan rekor tahun lalu sebesar 1,91 derajat Celsius. Demikian dikutip dari laman Channel News Asia, Minggu (4/8/2024).

"Itu adalah yang tertinggi sejak statistik dimulai pada tahun 1898," kata Badan Meteorologi Jepang (JMA) pada Kamis (1/8).

Badan itu juga mencatat bahwa angka-angka itu jauh lebih tinggi secara nasional.

Dari 153 pos pengamatan di seluruh Jepang, 62 lokasi memecahkan rekor suhu rata-rata mereka pada Juli 2024.

Faktor-faktor yang berkontribusi termasuk sistem tekanan tinggi di atas laut Pasifik dan udara hangat dari selatan yang menyelimuti bagian utara Jepang, kata JMA.

Sejak April 2024, sengatan panas telah menewaskan 59 orang di Jepang, menurut badan penanggulangan bencana.

Payung yang dapat disimpan di dalam freezer sudah menjadi pemandangan umum di sekitar Tokyo.

"Setelah menghabiskan dua jam berdiri di sini, saya jadi sangat berkeringat sampai-sampai saya bisa memerasnya keluar dari baju saya. Saya basah kuyup," kata seniman jalanan Jiro Kan (56).

"Orang-orang yang terbiasa dengan jenis panas yang lebih kering seperti di Amerika Serikat merasa panas dan lembap di Jepang," katanya.

Bulan lalu, Shizuoka di sebelah barat Tokyo menjadi wilayah Jepang pertama yang suhunya mencapai 40 derajat Celsius tahun ini. Angkanya jauh melampaui ambang batas 35 derajat yang dianggap "sangat panas" oleh pihak berwenang.

Gelombang panas semakin umum terjadi di seluruh dunia, dengan pemantau iklim Uni Eropa mengatakan pada Juli bahwa Bumi mengalami hari terhangatnya yang pernah tercatat dalam sejarah.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


PBB Desak Tindakan Nyata Dunia Atasi Panas Ekstrem

Ilustrasi gelombang panas melanda Jepang. (Pixabay)
Ilustrasi gelombang panas melanda Jepang. (Pixabay)

Di sisi lain, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada Kamis (25/7) menyerukan negara-negara untuk mengatasi urgensi epidemi panas ekstrem, yang dipicu oleh perubahan iklim. Pernyataannya muncul beberapa hari setelah dunia mengalami hari terpanasnya yang tercatat dalam sejarah, yakni pada 21 Juli.

"Panas ekstrem adalah hal yang tidak biasa," kata Guterres seperti dilansir CNA.

"Dunia harus bangkit menghadapi tantangan kenaikan suhu."

Tahun ini, kondisi yang sangat panas telah menewaskan 1.300 jamaah haji, menutup sekolah untuk sekitar 80 juta anak di Afrika dan Asia, dan menyebabkan lonjakan rawat inap dan kematian di Sahel.

Menurut Layanan Perubahan Iklim Uni Eropa, Copernicus, setiap bulan sejak Juni 2023 kini menempati peringkat sebagai bulan terpanas di planet ini sejak pencatatan dimulai pada tahun 1940, dibandingkan dengan bulan yang sama pada tahun-tahun sebelumnya.

 


Permintaan PBB

Gelombang panas melanda Jepang pada musim hujan 2024. (AP/Eugene Hoshiko)
Gelombang panas melanda Jepang pada musim hujan 2024. (AP/Eugene Hoshiko)

PBB meminta pemerintah untuk tidak hanya menekan emisi bahan bakar fosil - penyebab perubahan iklim - namun juga meningkatkan perlindungan bagi mereka yang paling rentan, termasuk lansia, ibu hamil dan anak-anak, serta meningkatkan perlindungan bagi pekerja.

Laporan dari Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) yang diterbitkan Kamis menyebutkan bahwa lebih dari 70 persen tenaga kerja global - dari 2,4 miliar orang - berisiko tinggi terkena panas ekstrem.

"Di Afrika, hampir 93 persen tenaga kerja terpapar panas berlebih dan 84 persen tenaga kerja di negara-negara Arab," demikian temuan laporan ILO.

Infografis Sengatan Gelombang Panas Mematikan Landa Eropa dan AS
Infografis Sengatan Gelombang Panas Mematikan Landa Eropa dan AS (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya