Usai Kerja 3 Bulan dan Hanya Libur 1 Hari, Pria di China Meninggal Dunia

Budaya kerja secara berlebihan relatif umum terjadi di China. Ini kisah tragisnya.

oleh Benedikta Miranti T.V diperbarui 10 Sep 2024, 19:40 WIB
Diterbitkan 10 Sep 2024, 19:40 WIB
Ilustrasi tekun, bekerja keras, lembur
Ilustrasi tekun, bekerja keras, lembur. (Image by ArthurHidden on Freepik)

Liputan6.com, Beijing - Budaya kerja berlebihan di China Kembali menjadi sorotan setelah seorang pria berusia 30 tahun meninggal karena masalah pada organ dalamnya setelah bekerja selama 104 hari berturut-turut, hanya dengan satu hari libur.

Pengadilan Provinsi Zhejiang memutuskan bahwa perusahaan tersebut bertanggung jawab sebesar 20 persen atas kematian pria tersebut, yang diidentifikasi sebagai A'bao.

Dilansir SCMP, Selasa (10/9/2024), pengadilan menemukan bahwa A'bao meninggal karena gagal organ ganda akibat infeksi pneumokokus, yang sering dikaitkan dengan sistem kekebalan tubuh yang melemah.

Pada bulan Februari tahun lalu, A'bao menandatangani kontrak untuk bekerja sebagai pelukis untuk sebuah perusahaan yang namanya tidak diungkapkan oleh pengadilan. Kontrak tersebut dimaksudkan untuk berlangsung hingga Januari tahun ini. Ia kemudian ditugaskan ke sebuah proyek di Zhoushan di Provinsi Zhejiang di China timur.

A’bao bekerja setiap hari selama 104 hari dari Februari hingga Mei tahun 2023 lalu setelah menandatangani kontrak, dengan hanya satu hari istirahat pada tanggal 6 April. Pada tanggal 25 Mei, ia mengambil cuti sakit karena merasa tidak enak badan dan menghabiskan hari itu untuk beristirahat di asramanya.

 

Kesehatannya Memburuk secara Drastis

Arti Mimpi Masuk Rumah Sakit
Ilustrasi Mimpi Masuk Rumah Sakit Credit: unsplash.com/Olga

Pada tanggal 28 Mei, kondisi A’bao memburuk secara drastis.

Ia dilarikan ke rumah sakit oleh rekan-rekannya, di mana ia didiagnosis menderita infeksi paru-paru dan gagal napas. Ia dinyatakan meninggal pada tanggal 1 Juni.

Selama penyelidikan awal atas kematiannya, pejabat jaminan sosial mengatakan bahwa, karena lebih dari 48 jam telah berlalu dalam kurun waktu A’bao sakit dan kematiannya, hal itu tidak dapat diklasifikasikan sebagai cedera terkait pekerjaan.

Keluarganya kemudian mengajukan gugatan untuk kompensasi, dengan tuduhan kelalaian pihak perusahaan.

 

Perusahaan Sempat Ajukan Banding

Palu hakim
Ilustrasi palu hakim pengadilan. (Sumber Pixabay)

Sebagai tanggapan, perusahaan berpendapat bahwa beban kerja A’bao dapat dikelola dan bahwa setiap lembur bersifat sukarela. Mereka lebih lanjut berpendapat bahwa kematiannya disebabkan oleh masalah kesehatan yang sudah ada sebelumnya dan kurangnya pengawasan medis yang tepat waktu, yang memperburuk kondisinya.

Pengadilan memutuskan bahwa kapasitas A'bao untuk bekerja selama 104 hari berturut-turut merupakan pelanggaran yang jelas terhadap Undang-Undang Ketenagakerjaan Tiongkok, yang mengamanatkan maksimal 8 jam kerja per hari dan rata-rata 44 jam per minggu.

Pengadilan memutuskan bahwa pelanggaran peraturan ketenagakerjaan oleh perusahaan memainkan peran penting dalam memburuknya sistem kekebalan tubuh A'bao dan akhirnya mengakibatkan kematian, dengan menjadikan perusahaan bertanggung jawab sebesar 20 persen atas tragedi tersebut.

Pengadilan memberikan keluarga tersebut total 400.000 yuan atau sekitar Rp869 juta sebagai kompensasi, termasuk 10.000 yuan untuk tekanan emosional yang disebabkan oleh kematian tersebut.

Perusahaan mengajukan banding atas putusan tersebut, tetapi Pengadilan Menengah Rakyat Zhoushan menguatkan putusan awal pada bulan Agustus.

Picu Kemarahan di Media Sosial

Ilustrasi karyawan, bekerja, rapat, suasana kantor. (Foto By AI)
Ilustrasi karyawan, bekerja, rapat, suasana kantor. (Foto By AI)

Insiden tersebut telah memicu kemarahan yang meluas di Tiongkok dan memicu perbincangan tentang bagaimana pekerja diperlakukan di negara tersebut.

"Melukis adalah pekerjaan yang secara inheren berbahaya bagi kesehatan kita. Pada usia 30, ia kehilangan nyawanya, dan keluarganya hancur. Pengadilan hanya memberikan 400.000 yuan. Yang lebih keterlaluan lagi adalah perusahaan tersebut mengajukan banding atas putusan awal, tidak menunjukkan simpati, kemanusiaan yang mendasar, atau refleksi diri," tulis salah satu pengguna media social.

Pengguna lainnya berkomentar, "Sungguh memilukan melihat ini. Bekerja seperti ini benar-benar menukar hidup seseorang dengan uang."

"Biaya pelanggaran hukum bagi perusahaan terlalu rendah, dan tampaknya undang-undang ketenagakerjaan hanya ada untuk mengekang para pekerja," tulis yang lain.

Ini bukan kali pertama bagi seorang pekerja Tiongkok mengalami kematian akibat kerja secara berlebihan.

Pada Agustus 2019, seorang karyawan yang dikenal dengan nama samaran Zhu Bin meninggal tiba-tiba saat pulang kerja. Zhu kemudian diketahui telah bekerja sepanjang bulan Juli tanpa istirahat dan bekerja lembur selama 130 jam.

Pengadilan memutuskan bahwa perusahaan Zhu bertanggung jawab sebesar 30 persen atas kematian Zhu dan memerintahkan kompensasi sebesar 360.000 yuan.

Infografis YLKI Usul Indonesia Terapkan Sistem 4 Hari Kerja. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)
Infografis YLKI Usul Indonesia Terapkan Sistem 4 Hari Kerja. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya