Catatan Pengamat atas Pelantikan Menlu Sugiono

Diplomat non-karier yang terakhir kali menjadi Menlu RI adalah Alwi Shihab.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 22 Okt 2024, 17:21 WIB
Diterbitkan 22 Okt 2024, 07:05 WIB
Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Sugiono
Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Sugiono. (Dok. Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - Sah sudah Sugiono (45) menakhodai Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (Kemlu RI). Prabowo Subianto melantik Sugiono di Istana Negara pada Senin (21/10/2024), bersama dengan 47 menteri dan lima kepala lembaga.

Menilik latar belakangnya, Sugiono bukan diplomat karier. Dia lulusan SMA Taruna Nusantara Magelang, S1 Teknik Komputer Universitas Norwich, pernah menjadi prajurit Komando Pasukan Khusus (Kopassus), anggota Komisi I DPR RI, hingga wakil ketua umum Partai Gerindra.

Dalam profilnya yang dimuat di situs web fraksi Partai Gerindra, Sugiono digambarkan orang yang ada di lingkaran terdekat Prabowo.

"Bahkan, tak sedikit yang mengatakan ... (dia) merupakan anak ideologis Prabowo Subianto," demikian dikutip dari situs web tersebut.

Sugiono didampingi oleh tiga wakil menteri luar negeri (Wamenlu), yakni Arrmanatha Christiawan Nasir, Arif Havas Oegroseno, dan Anis Matta. Dua di antara Wamenlu, Arrmanatha atau yang akrab disapa Tata dan Havas adalah diplomat karier, sementara Anis merupakan ketua umum Partai Gelora Indonesia.

Liputan6.com mewawancarai sejumlah pengamat untuk mengetahui apa yang menjadi catatan mereka atas penunjukan Sugiono sekaligus kebijakan luar negeri pada era Prabowo:

Pengajar di Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada Irfan Ardhani, menggarisbawahi bahwa Sugiono bukan Menlu RI pertama yang berasal dari kalangan diplomat non-karier.

"Hal ini bisa berarti dua hal. Pertama, Prabowo akan memainkan peranan yang besar dalam politik luar negeri. Oleh karena itu, dia menempatkan orang kepercayaan yang bisa memastikan gagasannya menjadi kebijakan yang diimplementasikan," terang Irfan kepada Liputan6.com.

"Kedua, ada kemungkinan Prabowo akan mengadopsi pendekatan politik luar negeri yang sedikit berbeda. Meskipun dalam pidatonya kemarin Prabowo menekankan pentingnya prinsip bebas aktif, good neighborhood policy, dan thousand friends zero enemy yang menjadi tradisi politik luar negeri kita, penunjukan Sugiono merupakan indikasi agar Kemlu RI keluar dari zona nyamannya."

Dalam pandangannya, Irfan menyoroti pula formasi baru Kemlu RI, yang memiliki tiga Wamenlu.

"Baru kali ini formasi pimpinan Kemlu RI diisi oleh seorang menteri dan tiga wakil menteri. Meskipun 'formasi gemuk' ini ada di banyak kementerian, dalam kasus Kemlu RI mengindikasikan besarnya perhatian Prabowo agar kehadiran (presence) dan profil Indonesia dalam politik global lebih meningkat. Tiap pimpinan nampaknya akan berbagi tugas untuk memastikan agar aspirasi Prabowo itu tercapai. Misalnya Anis Matta akan menggalang kerja sama dengan negara-negara Islam, Tata akan memperkuat kepemimpinan Indonesia di forum multilateral, dan Havas akan memperjuangkan kepentingan nasional kita yang mungkin tidak sejalan dengan banyak pihak," ungkap Irfan.

Ada beberapa isu global, yang menurut Irfan, kemungkinan akan jadi perhatian Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo.

"Pertama, perdamaian regional dan global. Prabowo berulang kali menyebut persoalan geopolitik akan menjadi tantangan Indonesia. Hal ini dikuatkan dengan briefing yang diberikan oleh John Mearsheimer kepada Kabinet Merah Putih dan track record pembelian alutsista yang dilakukan oleh Prabowo selama lima tahun terakhir. Oleh karena itu, sepertinya Prabowo akan mengambil peranan yang besar agar Indonesia menjadi peace broker di Laut China Selatan dan juga dalam konflik Gaza, serta Perang Rusia-Ukraina. Namun demikian, Indonesia perlu menyusun pendekatan secara matang agar upayanya tidak sia-sia.

"Kedua, isu pengelolaan sumber daya alam juga akan menjadi concern politik luar negeri Indonesia. Prabowo secara tegas menyampaikan ambisinya agar Indonesia menjadi lumbung pangan dunia, swasembada energi, dan melakukan hilirisasi berbagai komoditas yang kita miliki. Secara politik internasional, ambisi tersebut bisa menimbulkan konflik karena tidak sejalan dengan kepentingan negara lain dan norma-norma global. Misalnya, Indonesia akan dianggap melakukan proteksi yang berujung pada gugatan di WTO. Di samping itu, Indonesia juga bisa distigma melakukan deforestasi, pelanggaran HAM, dan land-grabbing besar-besaran yang membuat produk kita tidak diterima oleh negara atau kawasan tertentu."

Kemlu RI, kata Irfan, akan menjadi ujung tombak Indonesia untuk menavigasi dua isu utama tersebut.

"Oleh karena itu, menarik untuk dinanti bagaimana pembagian tugas dari tiap pimpinan yang mungkin akan tercermin pada pidato pertama Sugiono sebagai Menlu RI," ujarnya.

 

Memiliki Kapasitas Berbekal Pengalaman

Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Sugiono
Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Sugiono. (Dok. Gerindra).

Sementara itu, pengamat hubungan internasional Yon Machmudi menuturkan kepada Liputan6.com pada Senin, "Sugiono itu kan memiliki pengalaman di Komisi I yang membidangi masalah luar negeri. Tentu, dalam kurun waktu tertentu, dia memiliki kapasitas untuk memahami isu-isu internasional walaupun dari sisi senioritas terbilang masih muda dalam aspek pengalaman terhadap isu-isu internasional maupun kebijakan luar negeri secara umum, tetapi karena dia berasal dari Komisi I maka paling tidak menjawab keraguan publik akan kemungkinan kualifikasi yang bersangkutan."

"Oleh karena itu, publik berharap agar kemudian Sugiono tidak jauh berbeda dengan performa yang sudah dilakukan oleh menteri sebelumnya, yaitu Ibu Retno. Terutama isu-isu yang berkaitan dengan Palestina agar secara kuat terus disuarakan dan lebih aktif di dunia internasional menggunakan berbagai macam forum-forum nasional untuk mendukung perjuangan rakyat Palestina. Saya kira ini ya yang menjadi hal penting yang perlu untuk diperhatikan."

Yon menambahkan, "Tentu juga dari sisi menjaga posisi Indonesia yang bebas dan aktif, tidak terlibat di dalam dukung-mendukung aliansi dengan negara-negara lain, selain berpedoman kepada kebijakan politik luar negeri yang bebas aktif. Indonesia harus bisa lebih aktif dan independen, tidak masuk di dalam pemihakan terhadap salah satu kekuatan di dunia."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya