Liputan6.com, Jakarta - Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (HAKtP) kembali digelar. Dimulai setiap 25 November hingga 10 Desember, kampanye global ini menjadi momentum penting untuk mendorong langkah nyata dalam menghapuskan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia.
Tahun 2024 menandai 25 tahun sejak PBB menetapkan 25 November, tanggal terbunuhnya Mirabal Sisters, sebagai Hari Internasional untuk Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan. Adapun 10 Desember diperingati sebagai Hari Hak Asasi Manusia Internasional.
Dengan tema "Towards 30 Years of The Beijing Declaration and Platform for Action: UNITE to End Violence Against Women", 16 HAKTP tahun ini mengajak semua pihak untuk merenungkan kemajuan yang telah dicapai serta tantangan yang masih dihadapi dalam upaya mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan.
Advertisement
The Beijing Declaration and Platform for Action (Deklarasi dan Platform Aksi Beijing) adalah dokumen penting yang dihasilkan dari Konferensi Dunia tentang Perempuan yang diselenggarakan oleh PBB di Beijing pada 1995. Dokumen ini merupakan rencana aksi global yang disepakati oleh 181 negara untuk memperjuangkan hak-hak perempuan dan mencapai kesetaraan gender di seluruh dunia.
"Ada tiga hal yang menjadi fokus dari peringatan tahun ini. Yang pertama adalah kita harus mengakhiri impunitas terhadap pelaku dan tidak lagi menoleransi kekerasan pada perempuan dan anak perempuan. Yang kedua adalah bentuk konkret dari pelaksanaan perlindungan hukum bagi korban, mengadopsi, implementasi, dan mendanai rencana aksi nasional untuk mengakhiri kekerasan pada perempuan dan anak perempuan. Yang ketiga adalah untuk berinvestasi terhadap pencegahan karena kalau kita kemudian sudah melakukan rencana aksi, melakukan respons, kita juga harus menindaklanjuti apa yang menjadi root cause dari kekerasan pada perempuan," ungkap Officer in Charge for Country Representative UN Women Indonesia Dwi Faiz dalam konferensi pers16 HAKTP di Kantor PBB di Jakarta, Senin (25/11/2024).
Dwi membeberkan inisiatif UN Women Indonesia untuk mencegah dan menghentikan kekerasan terhadap perempuan, di antaranya:
- Berkolaborasi dengan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia untuk mengembangkan Chatbot AI untuk memberikan akses informasi yang tepercaya. Chatbot AI, yang dikembangkan berkonsultasi dengan dengan perempuan pekerja migran dan kelompok orang muda ini juga bertujuan mencegah tindak pidana perdagangan orang dan telah disesuaikan dengan data-data yang tidak bias gender, serta mencerminkan pengalaman dan kebutuhan khusus perempuan. Kolaborasi ini akan diluncurkan awal tahun 2025
- Mendorong ketersediaan data untuk mencegah dan meningkatkan layanan bagi korban kekerasan terhadap perempuan. Ada dua aksi nyata dari poin ini. Pertama, publikasi hasil studi "Lenyap dalam Senyap" dan diskusi femisida sebagai bagian dari rangkaian 16 HAKTP 2023 untuk mengenalkan istilah, konsep, dan ruang lingkup femisida sebagai puncak kekerasan terhadap perempuan kepada publik. Kedua, DELILA (Dengar, Lindungi dan Laporkan), sebuah program atau gerakan yang mendukung jaringan nasional perempuan dengan HIV untuk penguatan sistem dokumentasi kasus kekerasan pada perempuan dengan HIV.
- Pelibatan orang muda dan advokasi untuk perubahan. Ada dua aksi nyata dari poin ini. Pertama, pelatihan bagi aktivis dan konten kreator muda untuk mempromosikan pencegahan kekerasan terhadap perempuan, yang disebut 16For16. Kedua adalah toolkit OGBV, yang dibuat bersama oleh UN Women 30for2030 Network, aktivis muda UN Women dari negara-negara Asia Pasifik termasuk dari Indonesia. Panduan ini berisi informasi mulai dari bentuk-bentuk KTP online, pelaporan, tips saat menghadapinya, hingga rekomendasi bagi pemangku kepentingan.
Dwi mengungkapkan bahwa ada tema warna untuk hari anti kekerasan terhadap perempuan, yaitu orange day.
"Orange itu resemble sun, the color of sun. Jadi, ketika saya bilang memperingati hari anti kekerasan terhadap perempuan itu adalah hal yang paling menyedihkan, tapi itu juga menyimbolkan harapan," ujar Dwi.
Dalam kesempatan yang sama, Assistant Representative UNFPA Indonesia Verania Andria menggarisbawahi pentingnya sosialisasi layanan pengaduan masyarakat "LAPOR SAPA 129" untuk mendapatkan bantuan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
"Dengan tahu ke mana melapor setidaknya orang merasa nggak sendirian," ujarnya.
Senior Technical Advisor/Gender Taskforce UNDP Indonesia Syamsul Tarigan menilai bahwa salah satu hal yang mesti disoroti dari sisi peraturan perundangan adalah, "Sebenarnya kita masih sangat lemah kalau kita bicara tentang KBGO (Kekerasan Berbasis Gender Online). Ada istilah-istilah yang perlu dijelaskan lebih jelas ... Rata-rata kasus yang terkait dengan KBGO yang memang seharusnya bisa dikenakan dengan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) itu akhirnya larinya ke Undang-undang ITE. Kenapa? Karena kesulitan pembuktian oleh kepolisian."
Sementara itu, Human Rights and Gender Adviser UNAIDS Yasmin Purba menuturkan bahwa salah satu persoalan mendesak adalah korban (kekerasan) enggan melapor atau menindaklanjuti kasusnya.
"Penguatan korban itu penting banget ya. Supaya korban itu mau bicara dan menindaklanjuti. Karena tanpa itu ya sudah kasusnya berhenti sampai di situ ... dan akuntabilitas tidak pernah terbangun terhadap perempuan tersebut. Oleh karena itu, sisi pendampingan hukum yang empowering itu sangat dibutuhkan. (10:56) Bahwa teman-teman paralegal sudah bekerja dengan luar biasa yang di tengah keterbatasan.Tapi memang pendekatan yang empowering ini masih sangat kurang. Bagaimana mereka approach kekerasan-kekerasan yang sangat traumatis. Mengatasi trauma di awal dulu, kemudian akhirnya sampe mereka mau menindaklanjuti. Itu perlu tentu sebuah intervensi yang sepertinya perlu kita dukung," tutur Yasmin.
Yasmin menambahkan, "Semakin korban berdaya, semakin dia mau mempertahankan haknya. Semakin banyak pelaku yang dihukum maka akan menciptakan transformasi."