Liputan6.com, Beijing - Pada tanggal 2 Desember 1908, Aisin-Gioro Puyi secara resmi dinobatkan sebagai Kaisar Xuantong saat usianya masih dua tahun. Puyi dipilih sebagai kaisar baru ketika pamannya Kaisar Guangxu meninggal karena keracunan arsenik pada tanggal 14 November 1908.
Melansir dari ThoughtCo pada Senin (2/12/2024), Puyi lahir pada tanggal 7 Februari 1906, di Beijing, China dari pasangan Pangeran Chun (Zaifeng) dari klan Aisi-Gioro dari keluarga kerajaan Manchu dan Youlan dari klan Guwalgiya, seorang anggota salah satu keluarga kerajaan yang paling berpengaruh di China. Di kedua sisi keluarganya, hubungan mereka sangat erat dengan penguasa de facto China, Janda Permaisuri Cixi.
Baca Juga
Saat dinobatkan sebagai kaisar, Puyi yang kala itu masih balita dikabarkan menangis dan meronta-ronta. Dia secara resmi diadopsi oleh Permaisuri Longyu.
Advertisement
Kaisar cilik ini menghabiskan empat tahun berikutnya di Kota Terlarang, terpisah dari keluarga kandungnya dan dikelilingi oleh sejumlah kasim yang harus menuruti setiap keinginan kekanak-kanakannya.
Ketika anak laki-laki itu mengetahui bahwa dia memiliki kekuatan itu, dia akan memerintahkan para kasim untuk dicambuk jika mereka membuatnya tidak senang. Satu-satunya orang yang berani mendisiplinkan tiran kecil ini adalah perawatnya yang juga merupakan sosok ibu pengganti, Wen-Chao Wang.
Pada tanggal 12 Februari 1912, Permaisuri Longyu menandatangani Maklumat Kekaisaran tentang Pengunduran Diri Kaisar yang secara resmi mengakhiri kekuasaan Puyi. Longyu dilaporkan mendapatkan 1.700 pon perak dan janji bahwa dia tidak akan dipenggal dari Jenderal Yuan Shikai atas kerja samanya.
Yuan menyatakan dirinya sebagai Presiden Republik China hingga Desember 1915 ketika dia menganugerahkan gelar Kaisar Hongxian pada dirinya sendiri pada tahun 1916. Ia mencoba untuk memulai sebuah dinasti baru, tetapi meninggal tiga bulan kemudian karena gagal ginjal sebelum dia naik takhta.
Sementara itu, Puyi tetap tinggal di Kota Terlarang, bahkan tidak mengetahui Revolusi Xinhai yang mengguncang kekaisarannya.
Pada bulan Juli 1917, seorang panglima perang lain bernama Zhang Xun mengembalikan Puyi ke tahta selama sebelas hari, tetapi panglima perang saingannya yang bernama Duan Qirui membatalkan restorasi tersebut.
Akhirnya, pada tahun 1924, panglima perang lainnya, Feng Yuxian, mengusir mantan kaisar berusia 18 tahun itu dari Kota Terlarang.
Jadi Boneka Bagi Jepang
Puyi tinggal di kedutaan besar Jepang di Beijing selama satu setengah tahun dan pada tahun 1925 pindah ke daerah konsesi Jepang di Tianjin, di ujung utara garis pantai Tiongkok. Puyi dan Jepang memiliki lawan yang sama, yaitu etnis Han Tionghoa yang telah menggulingkannya dari kekuasaan.
Mantan kaisar ini menulis surat kepada menteri perang Jepang pada tahun 1931 untuk meminta bantuan dalam memulihkan tahtanya. Jepang menemukan alasan untuk menyerang dan menduduki Manchuria, tanah air nenek moyang Puyi, dan pada bulan November 1931, Jepang melantik Puyi sebagai kaisar boneka mereka di negara bagian Manchukuo yang baru.
Puyi tidak senang karena dia hanya memerintah Manchuria, bukan seluruh Cina, dan dia merasa jengkel di bawah kekuasaan Jepang di mana dia bahkan dipaksa untuk menandatangani surat pernyataan bahwa jika dia memiliki seorang putra, maka anak tersebut akan dibesarkan di Jepang.
Antara tahun 1935 dan 1945, Puyi berada di bawah pengawasan dan perintah seorang perwira Tentara Kwantung yang mengawasi sang Kaisar Manchukuo dan menyampaikan perintah kepadanya dari pemerintah Jepang. Para pengurusnya secara bertahap mengeliminasi staf aslinya, menggantinya dengan simpatisan Jepang.
Ketika Jepang menyerah pada akhir Perang Dunia II, Puyi naik pesawat menuju Jepang, tetapi dia ditangkap oleh Tentara Merah Soviet dan dipaksa bersaksi di pengadilan kejahatan perang di Tokyo pada tahun 1946. Ia kemudian tetap berada dalam tahanan Soviet di Siberia hingga tahun 1949.
Ketika Tentara Merah Mao Zedong menang dalam Perang Saudara Cina, Soviet menyerahkan mantan kaisar yang kini berusia 43 tahun itu kepada pemerintah komunis Cina yang baru.
Advertisement
Kehidupan Puyi di Bawah Rezim Mao Zedong
Mao Zedong memerintahkan Puyi dikirim ke Pusat Manajemen Penjahat Perang Fushun, yang juga dikenal sebagai Penjara Liaodong No. 3, yang disebut sebagai kamp pendidikan ulang bagi para tawanan perang dari Kuomintang, Manchukuo, dan Jepang.
Puyi menghabiskan sepuluh tahun berikutnya di dalam penjara, terus-menerus dibombardir dengan propaganda komunis.
Pada tahun 1959, Puyi siap untuk berbicara di depan umum untuk mendukung Partai Komunis Cina, sehingga dia dibebaskan dari kamp pendidikan ulang dan diizinkan untuk kembali ke Beijing, di mana dia mendapatkan pekerjaan sebagai asisten tukang kebun di Kebun Raya Beijing. Pada tahun 1962, ia menikahi seorang perawat bernama Li Shuxian.
Mantan kaisar ini bahkan bekerja sebagai editor untuk Konferensi Konsultatif Politik Rakyat Cina dari tahun 1964, dan juga menulis otobiografi, “Dari Kaisar ke Rakyat,” yang didukung oleh pejabat tinggi partai, Mao dan Zhou Enlai.
Ketika Mao mencetuskan Revolusi Kebudayaan pada tahun 1966, Pengawal Merahnya segera menargetkan Puyi sebagai simbol utama “Cina kuno.”
Akibatnya, Puyi ditempatkan di bawah pengawasan ketat dan kehilangan banyak kenyamanan sederhana yang ia dapatkan selama bertahun-tahun sejak dibebaskan dari penjara. Pada saat itu, kesehatannya juga menurun.
Pada tanggal 17 Oktober 1967, di usianya yang ke-61, Puyi, kaisar terakhir Cina, meninggal dunia karena kanker ginjal. Kehidupannya yang aneh dan penuh gejolak berakhir di kota di mana ia lahir, enam dekade dan tiga rezim politik sebelumnya.