Liputan6.com, Ann Arbor - Tanggal 12 April 1955 tercatat sebagai salah satu hari paling menentukan dalam perjalanan ilmu kedokteran modern. Hari itu seharusnya menjadi milik Dr. Thomas Francis.
Pada pukul 10.20 pagi, epidemiolog ternama itu menggelar konferensi pers internasional di Auditorium Rackham, Universitas Michigan, Amerika Serikat (AS). Ia menyampaikan hasil uji lapangan terbesar yang pernah dilakukan saat itu untuk menguji efektivitas vaksin polio buatan Dr. Jonas Salk dari Universitas Pittsburgh.
Tak berlebihan jika pidato Francis dinantikan dunia. Sebab polio adalah penyakit yang sangat ditakuti. Hampir setiap musim panas, wabah polio menyebabkan kelumpuhan dan kematian. Gambar anak-anak yang kesulitan berjalan atau tergantung hidup di dalam iron lung (tabung besi) melekat kuat dalam ingatan setiap orang tua.
Advertisement
Dalam sebuah artikel yang dimuat di laman pbs.org dan dikutip pada Sabtu (12/4/2025), disebutkan bahwa Presiden ASsaat itu Franklin Delano Roosevelt, yang juga merupakan penyintas polio paling terkenal di dunia, mendorong perjuangan melawan penyakit ini. Pada 1937, ia membentuk National Foundation for Infantile Paralysis (NFIP) yang bertujuan menyatukan dan memimpin perjuangan melawan polio.
Dukungan masyarakat begitu besar. Berkat ajakan pelawak radio Eddie Cantor, jutaan warga Amerika mengirimkan uang koin ke Gedung Putih dalam gerakan yang kemudian dikenal sebagai "March of Dimes".
Menjelang akhir 1940-an, para peneliti berhasil mengidentifikasi tiga tipe Virus Polio yang berbeda, perbedaan mikroba yang penting untuk pengembangan vaksin yang efektif. Di Harvard, John Enders, Frederick Robbins, dan Thomas Weller menemukan cara menumbuhkan virus polio dalam jaringan ginjal monyet. Temuan ini mengantarkan mereka meraih Nobel pada 1954.
Sementara itu, Albert Sabin dari Universitas Cincinnati mulai mengembangkan vaksin polio oral yang menggunakan virus hidup yang dilemahkan. Namun, vaksin ini baru siap digunakan secara luas pada 1961. Sebaliknya, Jonas Salk memilih metode tradisional: menggunakan virus yang dimatikan dengan formalin, sehingga prosesnya lebih cepat. Pada awal 1953, Salk mulai mengampanyekan uji coba nasional atas vaksinnya.
Untuk uji lapangan skala besar ini, NFIP menunjuk Francis mantan dosen Salk di Universitas Michigan yang dikenal piawai menangani uji vaksin influenza saat Perang Dunia II. Francis bersedia memimpin uji coba dengan tiga syarat: harus ada dua kelompok (vaksin dan plasebo), dilakukan secara double-blind, dan NFIP tak boleh ikut campur.
Uji coba resmi dimulai pada 26 April 1954, dengan menyuntikkan dosis pertama kepada Randy Kerr, anak laki-laki berusia enam tahun dari Virginia. Francis mengawasi setiap detail mulai dari desain eksperimen, pengemasan vaksin, panduan keselamatan untuk orang tua, hingga pemilihan "Polio Pioneers", sebutan untuk 650.000 anak penerima vaksin dan 1,18 juta penerima plasebo. Uji coba ini melibatkan sekitar 150.000 relawan, 15.000 sekolah, dan 44 departemen kesehatan negara bagian.
Uji Coba Berhasil, Pernyataan Salk Tuai Sorotan
Di hadapan para ilmuwan dan pejabat, Francis naik ke podium dan menyampaikan pernyataan yang ringkas: “Vaksin ini berhasil. Aman, efektif, dan kuat.” Ia menjelaskan bahwa vaksin Salk efektif 60–70 persen terhadap virus tipe 1 (yang paling umum), dan setidaknya 90 persen terhadap tipe 2 dan 3.
Namun, di tengah sorak sorai, ada satu orang yang tampak tidak puas: Jonas Salk. Saat Salk naik ke podium, tepuk tangan meriah menyambutnya. Meski mendapat pengakuan, Salk tidak puas. Ia mengklaim bahwa kegagalan dalam uji coba disebabkan oleh Merthiolate antiseptik berbasis merkuri yang ditambahkan ke vaksin tanpa persetujuannya atas perintah Laboratorium Pengendalian Biologis AS.
Dengan nada dramatis, Salk menyebutkan bahwa versi vaksin tanpa Merthiolate miliknya bisa saja 100 persen efektif.
Pernyataan ini menimbulkan kontroversi. Para pengkritik menjadikannya senjata untuk menyerang reputasi Salk di kemudian hari. Di belakang panggung, Francis yang marah menegur mantan muridnya, “Kenapa kau harus mengatakan itu? Kau tidak dalam posisi untuk mengklaim 100 persen efektivitas. Ada apa denganmu?”
Meski Salk tidak menyebutkan rekan-rekannya dan terlalu cepat menyimpulkan, dunia tetap menobatkannya sebagai pahlawan medis. Wartawan berlomba keluar dari auditorium untuk mengabarkan berita besar itu. Sorotan kemudian berpindah dari Francis, sang penguji, ke Salk, sang penemu.
Selama berhari-hari, wajah Jonas Salk menghiasi halaman depan surat kabar, layar televisi, siaran radio, dan rekaman berita. Ia dipuji sebagai simbol kemajuan dunia medis. Bagi jutaan orang tua di seluruh dunia, Salk adalah harapan.
Namun, satu dekade kemudian, Salk mengakui, “Saya tidak keluar dari Ann Arbor tanpa luka.”
Tidak sulit memahami mengapa 12 April 1955 lebih dikenang sebagai hari milik Jonas Salk. Ia adalah pencipta vaksin pertama yang berhasil melawan polio, sementara gurunya, Thomas Francis, hanya mengkonfirmasi kesuksesan itu kepada dunia.
Advertisement
