Nicolas Maduro Jadi Presiden Venezuela untuk Ketiga Kalinya

Maduro berhasil mempertahankan kekuasaannya meskipun menghadapi tekanan berat dari pemerintahan AS yang silih berganti, dengan terus memperoleh dukungan dari militer Venezuela serta negara-negara seperti China, Rusia, dan Iran.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 11 Jan 2025, 17:21 WIB
Diterbitkan 11 Jan 2025, 17:21 WIB
Presiden Venezuela Nicolás Maduro menyapa para pendukungnya pada hari pelantikannya untuk masa jabatan ketiga di istana kepresidenan Miraflores, Caracas, Venezuela, 10 Januari 2025.
Presiden Venezuela Nicolás Maduro menyapa para pendukungnya pada hari pelantikannya untuk masa jabatan ketiga di istana kepresidenan Miraflores, Caracas, Venezuela, 10 Januari 2025. (Dok. AP Photo/Cristian Hernandez)   

Liputan6.com, Caracas - Nicolas Maduro kembali dilantik untuk masa jabatan ketiganya sebagai presiden, enam bulan setelah pilpres yang diperselisihkan di mana oposisi dan komunitas internasional menyatakan bahwa dia kalah.

Maduro mengucapkan sumpah jabatan di depan parlemen pada Jumat (10/1/2025), berjanji bahwa masa jabatan ketiganya yang berlangsung selama enam tahun ini akan menjadi "periode damai".

Hasil resmi dari pilpres Juli telah ditolak secara luas oleh komunitas internasional, termasuk negara tetangga, Brasil dan Kolombia. Demikian seperti dikutip dari BBC, Sabtu (11/1).

Pelantikan Maduro yang berusia 62 tahun ini berlangsung sehari setelah pemimpin oposisi Venezuela, Maria Corina Machado, ditangkap oleh pihak berwenang dan kemudian dibebaskan setelah menyampaikan pidato dalam sebuah aksi protes.

Menteri Informasi Freddy Nanez membantah laporan tentang penahanan Machado dan menyebutnya sebagai upaya mengalihkan perhatian publik setelah tim Machado mengaku dia "dihalang secara paksa" di timur Caracas.

Dalam pidato pelantikannya, Maduro mengatakan, "Saya bersumpah bahwa masa jabatan kepresidenan baru ini akan menjadi masa perdamaian, kemakmuran, kesetaraan, dan demokrasi baru. Saya bersumpah atas nama sejarah, saya bersumpah atas hidup saya. Saya akan menepati janji saya."

Maduro dinyatakan sebagai pemenang pilpres Juli oleh Komisi Pemilihan Umum (CNE) Venezuela yang sangat mendukung pemerintah. Oposisi dan banyak negara, termasuk Amerika Serikat (AS), menolak hasil tersebut dan mengakui kandidat oposisi Edmundo Gonzalez sebagai presiden terpilih yang sah.

Gonzalez melarikan diri dari Venezuela pada September dan kini tinggal di Spanyol. Bulan ini dia melakukan tur ke Amerika untuk menggalang dukungan internasional.

Pemerintah Maduro telah mengeluarkan surat perintah penangkapan untuknya, menawarkan hadiah sebesar USD 100.000 bagi informasi yang mengarah pada penahanannya.

Machado, yang digantikan Gonzalez dalam surat suara setelah dia dilarang untuk mencalonkan diri, juga menjadi target. Dia bersembunyi setelah pilpres dan terakhir kali terlihat di publik pada Agustus sebelum aksi unjuk rasa pada Kamis (9/1).

Pada Kamis pula, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan keprihatinannya setelah menerima laporan tentang penahanan sewenang-wenang dan intimidasi di Venezuela menjelang aksi unjuk rasa oposisi.

PBB menyoroti penangkapan Carlos Correa, kepala LSM yang mempromosikan kebebasan pers, yang diculik oleh orang-orang bertopeng tak dikenal pada awal pekan ini.

Sanksi Baru

Nicolas Maduro.
Presiden Venezuela Nicolas Maduro (Dok. AP/Ariana Cubillas)

Melansir VOA Indonesia, AS pada Jumat menjatuhkan sanksi terhadap delapan pejabat Venezuela dan meningkatkan hadiah yang ditawarkannya menjadi USD 25 juta dari sebelumnya USD 15 juta untuk informasi yang mengarah pada penangkapan dan hukuman atas Maduro, yang telah lama menghadapi tuduhan AS terkait perdagangan narkoba. Itu adalah penerapan sanksi terbaru dari serangkaian langkah yang diambil oleh pemerintahan Joe Biden.

Pejabat baru yang dijatuhi sanksi termasuk kepala perusahaan minyak negara Venezuela PDVSA yang baru diangkat, Hector Obregon, dan Menteri Transportasi Venezuela Ramon Velasquez.

Langkah AS tersebut bertepatan dengan sanksi-sanksi baru yang diumumkan oleh Inggris dan Uni Eropa.

Maduro dan para pembantunya selalu menolak sanksi yang dijatuhkan AS dan negara-negara lain dengan mengatakan bahwa sanksi tersebut merupakan tindakan tidak sah. Dia juga menuduh sanksi itu merupakan "perang ekonomi" yang dirancang untuk melumpuhkan Venezuela.

Maduro dan para sekutunya memuji apa yang mereka katakan sebagai ketahanan negaranya terhadap sanksi-sanksi tersebut, meskipun mereka juga sering menyalahkan beberapa kesulitan ekonomi sebagai akibat dari sanksi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya