Mesir Susun Rencana Konstruksi Gaza Tanpa Libatkan Hamas

Bagaimana rencana rekonstruksi Jalur Gaza yang digagas Mesir? Berikut penjelasannya

oleh Khairisa Ferida Diperbarui 17 Feb 2025, 16:08 WIB
Diterbitkan 17 Feb 2025, 16:08 WIB
Ribuan Warga Palestina Susuri Koridor Netzarim Untuk Kembali ke Gaza UtaraRibuan Warga Palestina Susuri Koridor Netzarim Untuk Kembali ke Gaza Utara
Orang-orang berjalan di sepanjang Jalan Al-Rashid di wilayah pesisir untuk menyeberangi koridor Netzarim dari Jalur Gaza selatan ke utara pada 27 Januari 2025. (Omar AL-QATTAA/AFP)... Selengkapnya

Liputan6.com, Kairo - Mesir dilaporkan sedang bekerja sama dengan Bank Dunia untuk menyiapkan alternatif atas rencana Donald Trump yang ingin menjadikan Jalur Gaza sebagai "Riviera Timur Tengah". Dalam rencana ini, Hamas akan secara resmi dikecualikan dari tata kelola dan kendali atas rekonstruksi wilayah tersebut.

Prosesnya sendiri akan diserahkan kepada sebuah komite, tanpa terdiri dari anggota Hamas. Namun, peran Hamas di masa depan masih belum jelas, yang kemungkinan akan menjadi hambatan bagi dukungan Israel terhadap rencana ini.

Negara-negara Arab – terutama Uni Emirat Arab dan Qatar – dilaporkan sedang mempersiapkan tawaran finansial untuk mendanai rekonstruksi, namun dengan syarat bahwa rakyat Palestina diberikan hak untuk tetap tinggal di Jalur Gaza dan tidak dipaksa mencari tempat perlindungan sementara atau permanen di Mesir atau Yordania. Rekonstruksi diperkirakan akan memakan waktu tiga hingga lima tahun, dengan 65 persen properti di Jalur Gaza hancur.

Sumber-sumber Eropa mengakui bahwa masalah jaminan keamanan untuk Israel terkait Jalur Gaza masih belum terpecahkan. Hal ini disebabkan oleh ketidaksediaan negara-negara Arab untuk mengirim pasukan, kecuali Israel memberikan cakrawala politik yang jelas untuk pembentukan negara Palestina.

Negara-negara Arab dijadwalkan akan menggelar pertemuan di Riyadh pada 27 Februari, di mana alternatif atas rencana Trump mengenai Jalur Gaza akan dibahas dan beberapa bagiannya akan diungkapkan.

Sejauh ini, Arab Saudi belum secara eksplisit menyerukan agar Hamas dikeluarkan dari proses rekonstruksi atau pemerintahan Jalur Gaza, namun penasihat diplomatik senior Uni Emirat Arab Anwar Gargash memuji seruan terbaru dari Sekretaris Jenderal Liga Arab Ahmed Aboul Gheit yang meminta Hamas mundur dari pemerintahan Jalur Gaza sebagai langkah yang tepat dan rasional.

"Kepentingan rakyat Palestina harus didahulukan di atas kepentingan gerakan (Hamas), terutama mengingat adanya seruan untuk memindahkan rakyat Palestina dari Gaza, serta perang yang menghancurkan Gaza dan merobek jaringan sosial serta kemanusiaannya akibat keputusan-keputusan gerakan tersebut," ujar Aboul Gheit seperti dikutip dari The Guardian, Senin (17/2).

Sikap Otoritas Palestina

Warga Gaza Bersiap Membangun Kembali Kehidupan
Hussein Abu Elba, 70 tahun, berpose di depan rumahnya yang hancur di Jabalia, Jalur Gaza utara, pada 9 Februari 2025. (Bashar TALEB/AFP)... Selengkapnya

Dalam World Governments Summit pekan lalu, Aboul Gheit juga mengatakan gagasan Trump untuk memindahkan sekitar 2 juta warga Palestina keluar dari Jalur Gaza akan membawa wilayah ini ke dalam siklus krisis yang akan merusak perdamaian dan stabilitas.

"Ini tidak dapat diterima oleh dunia Arab, yang telah berjuang menentang gagasan ini selama 100 tahun," tegas Aboul Gheit.

Diharapkan komite yang diusulkan dalam rencana Arab ini akan mencakup teknokrat independen dan perwakilan masyarakat sipil serta serikat pekerja, untuk memastikan bahwa tidak ada satu faksi pun yang mendominasi.

Bahkan diplomat-diplomat moderat Arab mengatakan bahwa rencana Trump tidak praktis dan tidak benar secara moral. Namun, satu diplomat mengatakan, "Kita harus berinteraksi dengannya dan jika memungkinkan, mengalihkan perhatian orang-orang dari rencana tersebut."

Seorang sumber Arab lainnya turut mengomentari dengan mengungkapkan, "Banyak bagian dari itu terdengar tidak masuk akal, seperti mengubah terowongan Hamas menjadi jaringan metro. Ide itu muncul begitu saja."

Otoritas Palestina (PA), yang menguasai Tepi Barat, tidak mendukung rencana pembentukan komite karena khawatir hal ini bisa menandakan pemisahan permanen antara Tepi Barat dan Jalur Gaza.

Jibril Rajoub dari Fatah, yang mendominasi PA, mengatakan kelompoknya menolak membahas gagasan terkait komite. Dia menyebutnya sebagai pendahulu yang akan mengukuhkan pemisahan dan menegaskan pentingnya tetap mematuhi kesatuan pemerintahan dan rezim.

Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio belum menutup kemungkinan adanya alternatif terhadap rencana Trump.

"Setiap rencana yang membiarkan Hamas tetap berada di Jalur Gaza akan menjadi masalah karena Israel tidak akan menoleransinya dan dengan demikian kita kembali ke titik awal," imbuhnya.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya