Tak Semua Orang Pendek Akibat Kurang Gizi

Perawakan tubuh Indonesia bukan hanya dipengaruhi oleh faktor genetik, endokrin dan lingkungan serta nutrisi melainkan juga faktor genetik.

oleh Fitri Syarifah diperbarui 13 Jan 2015, 17:19 WIB
Diterbitkan 13 Jan 2015, 17:19 WIB
(lip6 Siang) Gizi Buruk
(Liputan 6 TV)

Liputan6.com, Jakarta Tinggi badan atau perawakan dalam suatu populasi sangat penting karena dapat digunakan sebagai parameter tingkat kesejahteraan dan populasi. Tapi ternyata, hal ini mestinya tidak berlaku di Indonesia lantaran tinggi badan orang Indonesia dipengaruhi multifaktor.

Seperti disampaikan oleh Kepala Divisi Endokrinologi, Departemen Ilmu Kesehatan Anak (IKA) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dr. Aman Bhakti Pulungan, SpA(K) bahwa perawakan tubuh Indonesia bukan hanya dipengaruhi oleh faktor genetik, endokrin dan lingkungan serta nutrisi melainkan juga faktor genetik.

"WHO, Departemen Kesehatan, Riskesdas mestinya tidak mengeneralisasi pendek itu stunting yang disebabkan gizi buruk. Meski kebanyakan kasus seperti itu, tapi kalau diambil sampelnya orang pendek pigmi di Flores misalnya, kemudian dikaitkan dengan kesejahteraan suatu negara, nilai kita jelek terus dong," kata Aman saat diwawancarai wartawan usai sidang program doktor di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta, Selasa (13/1/2015).

Aman mengatakan, data UNICEF pada 2010 menyebutkan bahwa Indonesia menempati posisi ke 5 dari 136 negara dengan anak berperawakan pendek di bawah usia 5 tahun. Apabila dilihat sepintas, manusia pigmi tentu akan dianggap stunting sehingga intervensinya adalah pemberian gizi berlebihan yang akhirnya akan mengakibatkan obesitas.

"Kalau kita lihat di Desa Rampasa, Flores Nusa Tenggara Timur ada yang kurang gizi, ada yang obesitas tapi mereka tetap pendek. Jadi memang bukan cuma karena malnutrisi saja," jelasnya.

Aman menambahkan, paramedis, pemerintah dan sebagainya harus berhati-hati dalam mengintervensi orang pendek." Perlu kurva ataupun parameter pertumbuhan Indonesia harusnya bagaimna, karena sampai sekarang kita masih pakai standar WHO."

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya