Liputan6.com, Kyoto - Untuk pertama kalinya, suatu penelitian oleh tim dari Kyoto University di Jepang mengamati seorang induk simpanse merawat anaknya yang cacat di alam liar. Hal ini terkait dengan mengungkapkan caranya manusia mengembangkan perilaku sosialnya.
Ringkasan penelitian menyebutkan tentang seekor simpanse betina yang lahir pada Januari 2011 di Taman Nasional Pegunungan Mahale di Tanzania dan menderita cacat parah dengan “gejala yang menyerupai Down Syndrome.”
Merujuk kepada Japan Times para Rabu (11/11/2015), para peneliti mengatakan bahwa hanya ada segelintir studi kasus mengenai anak simpanse yang cacat bawaan dan tidak ada laporan yang membahas bagaimana induk simpanse di alam liar mengurus anaknya yang cacat.
Advertisement
Michio Nakamura, wakil profesor di Pusat Penelitian Alam Liar di Universitas Kyoto yang terlibat dalam penelitian, mengatakan kepada Japan Times pada Selasa lalu bahwa penelitian ini dapat membantu memecahkan teka-teki tentang bagaimana manusia berkembang menjadi mahluk sosial.
Katanya, “Salah satu sifat manusia dalam bermasyarakat adalah orang-orang merawat mereka yang cacat dandalam posisi rentan. Menarik sekali mengamatai simpanse merawat anaknya yang cacat untuk mencari saatnya kemasyarakatan itu muncul. Simpanse merupakan spesies modern terdekat dengan manusia.”
Nakamura mencata bahwa anak simanse itu tampaknya menunjukkan sejumlah cacat, termasuk benjolan di perutnya, kerusakan tulang belakang, dan kelebihan organ (hyperdactylism) berupa jari ke enam di tangan kirinya.
“Selain itu ia memiliki penampakan seperti ikan dan mulutnya setengah terbuka, sehingga kami menganggap ia memiliki suatu keterbelakangan mental,” lanjutnya.
Ia juga mengatakan bahwa bayi hewan itu tidak dapat duduk tegak secara mandiri dan tidak bisa tegak bergelantungan pada induknya karena cacatnya.
Walaupun memiliki sejumlah cacat jasmani, bayi tersebut bertahan hidup selama 2 tahun karena perawatan oleh induknya dan kakak perempuannya, kata Nakamura.
Ujarnya, “Bisa dibilang, rumit juga bagi seekor anak simpanse yang cacat parah dan tidak bisa berjalan untuk bisa bertahan hidup sendiri.”
Menurut Nakamura, induk simpanse itulah yang merawat anaknya. “Induknya menggendong bayi itu dan membawanya bergerak karena anak itu akan terjatuh tanpa bantuan. Ketika sedang menyusui, induknya menaikkan anaknya ke putingnya supaya bisa menyusuinya.”
Mengenai peran sang kakak, ternyata kakak simpanse itu mengawasi adiknya ketika induk mereka sedang makan.
“Menarik sekali karena kakak perempuan simpanse itu ikut berperan merawat bayi tersebut. Pastilah suatu beban berat bagi sang induk untuk merawat bayinya jika tanpa pertolongan sang kakak.”
Nakamura mengatakan bahwa bayi itu tidak terlihat lagi sejak Desember 2012, sehingga tim menduga ia telah mati.
Ia mengatkan bahwa kematian bayi simpanse itu kemungkinan berhubungan dengan kehamilan kakaknya. Sang kakak melahirkan anak simpanse pada November 2012 sehingga sukar untuk terus membantu induknya merawat bayi simpanse yang cacat itu.
Kemudian Nakamura melanjukan, bahwa bayi simpanse itu kemungkinan mati kekurangan gizi karena tidak pernah terlihat menyantap makanan padat. Simpanse seusianya biasanya perlahan-lahan mulai menyantap buah-buahan dan dedaunan.
Temuan ini diterbitkan pada Senin lalu dalam edisi daring jurnal Primates, yaitu suatu jurnal internasional ilmu primata. (Alx)