Cerita Seorang Ibu yang Harus Merelakan Bayinya Diaborsi

Di usia kehamilan 25 minggu, Alicia dihadapkan pilihan untuk melakukan aborsi atau melahirkan anak yang akan hidup dengan kelainan jantung.

oleh Fitri Syarifah diperbarui 24 Okt 2017, 20:07 WIB
Diterbitkan 24 Okt 2017, 20:07 WIB
Ilustrasi Aborsi
Ilustrasi Aborsi (iStockphoto)​

Liputan6.com, Jakarta Musim semi 2015 silam menjadi pengalaman luar biasa bagi Alicia Hupprich dan suami. Keduanya tak menyangka bila mereka akan diberkahi anak kedua. Namun sayang, semua tak berjalan mulus. Di usia kehamilan 25 minggu, Alicia dihadapkan pilihan untuk melakukan aborsi atau melahirkan anak yang akan hidup dengan kelainan jantung seumur hidupnya.

Kisah ini bermula sejak usia kandungan Alicia 18 minggu. Menurut dokter, putri Alicia memiliki lapisan putih tebal di ventrikel kanan jantungnya. Ini adalah tanda sindrom jantung hipoplasia, kondisi ketika jantung tidak terbentuk sehingga anaknya--nantinya memerlukan serangkaian operasi yang berujung pada transplantasi jantung.

"Pada saat itu, para dokter mencatat bahwa aborsi adalah sebuah pilihan. Apalagi kami dijelaskan oleh ahli jantung anak yang membuat saya dan suami gemetar," ujarnya, seperti dimuat Prevention, Selasa (24/10/2017).

Namun semua kembali pada keputusan Alicia dan suami. Sebab para dokter mengatakan, mereka tidak dapat memberi kami diagnosis resmi karena jantung bayi masih sangat kecil. Bahkan sekalipun bukan hipoplasia, ada kondisi serius yang akan menimpa buah hati Alicia.

Setelah itu, Alicia diminta kembali ke rumah sakit di usia kehamilan 21 minggu. Lagi-lagi, ada lapisan putih di jantung yang semakin tebal hingga membentuk seperti tengkorak saat USG.

"Kami memutuskan untuk pergi ke rumah sakit anak-anak di Pennsylvania untuk mendapatkan pendapat ketiga dan terakhir. Lima minggu menjelang keputusan berat itu saya memutuskan untuk berpikir jernih dan mencari semua informasi seputar aborsi dan kemungkinan transplantasi jantung," kata Alicia.

Akhirnya, perhatian terbesar Alicia dan suami adalah hidup putrinya. Bagaimana dia akan hidup nantinya, sebab hidup lebih dari sekadar memiliki jantung dan oksigen. "Kami tahu, saat itu tidak boleh egois untuk memiliki anak bila hanya akan 'menyiksanya'. Untuk itu, kami memutuskan untuk menanggung sakitnya."

Di usia kehamilan 23 minggu, kami melihat kondisi jantungnya kian mengkhawatirkan. "Saat itu saya berpikir, jika dia berhasil lahir, dia akan mengalami kesulitas bernapas, serangan jantung, kejang dan stroke."

Hal itulah yang ditakutkan Alicia. Dia dan suaminya pun mendatangi sebuah klinik di New Jersey yang bisa membantu proses aborsi

"Rasanya sedih dan menyayat hati. Saya terus menangis sampai beberapa bulan hingga suami mendatangkan konselor untuk membantu saya," ujar Alicia.

Setelah delapan bulan, Alicia dan suami merasa cukup berani untuk mulai mencoba untuk mendapatkan bayi lagi. "Kami beruntung bisa hamil dengan cepat, tapi setelah itu, sudah sembilan bulan menahan napas."

"Kami melakukan pemeriksaan ekokardiogram sebanyak 20 kali, dan ultrasound yang tak terhitung jumlahnya. Sangat intens, dan saya juga harus memantau jantung bayi saya dua kali sehari melalui doppler, sebuah mesin yang memungkinkan Anda mendengarkan detak jantung bayi di rumah. Dan kami sangat beruntung saat ini karena kami memiliki bayi berusia 6 bulan yang sehat," pungkasnya.

 

Simak video menarik berikut ini:

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya