Indonesia AIDS Coalition Imbau Proses Tender Obat HIV/AIDS Lebih Transparan

Indonesia AIDS Coalition mengimbau Kementerian Kesehatan lebih transparan dalam membuat tender pengadaan obat ARV sehingga harga yang didapatkan bisa lebih terjangkau.

oleh Liputan6.com diperbarui 03 Agu 2018, 14:30 WIB
Diterbitkan 03 Agu 2018, 14:30 WIB
obat-aids-131209c.jpg
ilustrasi obat (IStockphoto)

 

Liputan6.com, Jakarta Indonesia AIDS Coalition (IAC), LSM yang bekerja untuk isu advokasi program penanggulangan HIV dan AIDS, mengimbau Kementerian Kesehatan agar lebih transparan dalam membuat tender pengadaan obat ARV. Dengan begitu, harga yang didapatkan bisa lebih terjangkau.

Hal ini khususnya dalam proses tender pengadaan obat ARV jenis Tenofovir, Lamivudine, dan Efavirenz (TLE) bagi penyakit HIV dan AIDS yang rencananya akan dilakukan oleh Kemenkes dalam waktu dekat ini.

Saat ini, ada dua perusahaan farmasi yang mengantongi izin edar obat ARV sediaan tiga kombinasi tetap Tenofovir, Lamivudine, dan Efavirenz (TLE) ini, yaitu PT Kimia Farma dan PT Indoforma. Produk dari PT Indofarma sendiri tercatat baru saja mendapatkan izin edar dari BPOM pada 16 Juli 2018 dengan nama dagang Telura dengan pemilik produknya adalah PT Mylan India.

Produk ini akan melengkapi produk ARV jenis TLE yang sebelumnya izin edar hanya dimiliki oleh PT Kimia Farma. Kedua produk yang beredar ini sama-sama produksi dari perusahaan farmasi di India.

Direktur Eksekutif LSM IAC, Aditya Wardhana, mengatakan, ”Kami sangat mengapresiasi keluarnya izin edar obat ARV jenis TLE ini karena ini akan menciptakan kompetisi sehingga harapannya harga obat ARV akan turun. Selama ini, harga obat ARV jenis TLE yang dibeli pemerintah Indonesia sangat mahal. Ini adalah harga beli obat ARV yang tertinggi di dunia.”

Berdasarkan data yang dikumpulkan LSM IAC, harga beli pemerintah untuk obat ARV jenis TLE ini tercatat di tahun 2016 mencapai harga Rp 385 ribu per botol. Sementara, berdasarkan dokumen resmi dari agen pengadaan internasional, harga obat ini di pasaran Internasional hanya berkisar US$ 8 – 9 per botol (sekitar Rp 115 ribu per botol). Artinya, ada selisih sekitar Rp 270 ribu per botol keuntungan yang masuk ke perusahaan BUMN farmasi selama ini. 

Pada 2016, pengadaan yang dilakukan Kemenkes mencapai lebih dari 1 juta botol. Dengan demikian, total penghematan yang semestinya bisa didapat pemerintah Indonesia mencapai Rp 270 miliar per tahun.

Berdasarkan perhitungan dari LSM IAC, mengacu pada informasi yang didapatkan dari perusahaan farmasi India, harga jual obat ARV jenis TLE ini kepada perusahaan farmasi Indonesia adalah sekitar Rp 115 ribu (franco Jakarta).

LSM IAC merasa bahwa nilai keekonomian yang layak dari penjualan obat ini ada di harga sekitar Rp 160 ribu per botol. Namun, obat ini kemudian dijual dengan harga Rp 385 ribu per botol oleh perusahaan farmasi Indonesia kepada pemerintah.

“Kami sangat menyesalkan kenapa pemerintah, dalam hal ini Kemenkes, tidak serius dalam melakukan negosiasi harga ini. Karena harga yang kemarin dibayarkan sangat tinggi. Selisih harga ini seharusnya bisa digunakan untuk mengobati pasien 60 ribu lebih banyak daripada yang seharusnya. Ada potensi ratusan miliar uang negara yang bisa dihemat jika pemerintah lebih efisien dalam melakukan pengadaan,” kata Aditya Wardhana.

Dia juga menambahkan bahwa semestinya Kimia Farma dan Indofarma sebagai sebuah BUMN, juga mengemban misi sosial mendukung program pemerintah bukan hanya sebatas memikirkan mencari keuntungan bagi perusahaannya sendiri.

Persoalan HIV/AIDS sendiri masih menjadi isu kesehatan yang sangat serius di Indonesia. Bila di banyak negara kasus HIV mulai menunjukkan angka penurunan penularan, di Indonesia masih mencatat kenaikan. Penurunan angka penularan HIV ini karena negara lain mampu menyediakan akses pengobatan ARV kepada mayoritas ODHA sehingga mereka bisa hidup lebih sehat dan tidak menularkan HIV kepada orang lain.

Sementara itu, dengan tingginya harga obat ARV yang dibeli pemerintah Indonesia, sampai saat ini tercatat bahwa kita baru mampu memberikan pengobatan kepada kurang lebih 100 ribu ODHA dari estimasi 650 ribu ODHA yang ada di Indonesia. Dari sekitar 100 ribu ODHA yang mengonsumsi obat ARV tadi, ada sekitar 48 ribu ODHA yang mengonsumsi ARV jenis TLE ini.

LSM IAC sangat berharap kali ini pemerintah bersikap serius dalam menangani proses pengadaan obat ARV jenis TLE in karena selain ini akan sangat menghemat uang negara. Selain itu, penghematan ini juga dapat menambah jumlah cakupan pemberian obat ARV dan bisa digunakan untuk mendanai program penanggulangan AIDS lainnya.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya