Liputan6.com, Jakarta Meski sudah cukup lama berlalu, bom bunuh diri di Mei 2017 masih menyisakan trauma bagi penyanyi Ariana Grande. Dalam unggahan Instagram stories terbarunya, Ariana memperlihatkan adanya gangguan stres pascatrauma yang dialaminya.
Ariana Grande membagikan hasil pemindaian otaknya beberapa waktu lalu. Dalam fotonya, terlihat perbandingan antara otak yang sehat dengan otak pasien post traumatic stress disorder (PTSD).
Baca Juga
"Teman-teman... (ini) otakku," tulis Grande dalam keterangan fotonya seperti mengutip Prevention pada Minggu (14/4/2019). Dia menambahkan, hasil pemindaian tersebut bukanlah lelucon dan menakutkan.
Advertisement
Meskipun tidak jelas apakah peristiwa bom bunuh diri di Manchester Arena, Inggris itu menjadi pemicunya atau bukan, tetap saja kejadian itu mempengaruhi mental musikus berdarah Amerika Serikat-Italia itu.
Â
Saksikan juga video menarik berikut ini:
Mengalami Gangguan Mental setelah Serangan
Beberapa waktu lalu, Grande dilaporkan menangis tanpa henti dan tidak bicara selama dua hari setelah serangan teroris yang menewaskan 22 orang tersebut. Dia bahkan sempat tidak yakin akan bisa bernyanyi lagi.
"Perasaan ini seperti saya tidak bisa bernapas," kata Grande pada Elle dalam sebuah wawancara Juli 2018 lalu. Menurutnya, kejadian itu sangat tiba-tiba dan membalikkan suasana hatinya secara mendadak.
"Saya selalu mengalami kecemasan, tetapi tidak pernah terjadi secara fisik sebelumnya." Hingga saat ini, pelantun lagu 'Bang Bang' itu masih sulit menceritakan kejadian mengerikan itu.
Â
Advertisement
Mempengaruhi Otak
Salah satu masalah yang kerap dialami Grande adalah pusing. Ini merupakan salah satu respons fisik dari PTSD. Beberapa gejala klinis lain yang harus diwaspadai pasien gangguan stres pascatrauma adalah mimpi buruk, kecemasan, dan munculnya kilas balik secara tiba-tiba.
Kejadian traumatis seperti bencana alam, kecelakaan, hingga serangan seksual bisa berakibat pada gangguan stres pascatrauma. Kondisi ini memang berpengaruh pada otak seseorang.
Studi di jurnal Dialogues in Clinical Neuroscience menemukan bahwa pasien dengan kondisi ini, memiliki peningkatan respon hormon stres kortisol dan neurotransmitter norepineferin. Mereka juga mempengaruhi beberapa bagian otak seperti amigdala, hippocampus, dan korteks prefrontal otak. Sehingga, pemindaian membuat masalah itu terdeteksi.