Liputan6.com, Jakarta Penelitian untuk membuat sebuah tanaman bisa menjadi obat yang bisa dikonsumsi manusia tidaklah mudah. Ada proses panjang yang harus dilalui.
Salah satu yang seringkali mendapatkan sorotan dalam tahap penelitian adalah uji klinis. Sebelum bisa diedarkan secara komersial, obat harus terlebih dulu diuji coba pada manusia.
Baca Juga
Meski begitu, uji klinis pada manusia juga tidak bisa dilakukan dengan sembarangan. Selain harus menggandeng rumah sakit dan tahap penelitian sebelumnya sudah harus kokoh, biaya yang dikeluarkan tidaklah murah.
Advertisement
"Karena ini berhubungan dengan penyakit, dengan nyawa manusia, dokter pun harus hati-hati, harus janji kontrak, ada kode etiknya, tanda tangan," kata peneliti Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Dr. Jamilah ditemui Health Liputan6.com pada Selasa (20/8/2019) di Gedung LIPI, Jakarta,
Simak juga Video Menarik Berikut Ini
Setelah Beredar, Obat Tetap Wajib Diuji Lagi
Jamilah mengungkapkan bahwa biasanya pasien atau relawan untuk uji klinis suatu obat juga akan dibayar oleh peneliti untuk uji klinis sebuah obat.
"Biasanya dia dibayar. Jadi saya sebagai peneliti harus menyiapkan uang 500 juta untuk uji ke manusia," tambah perempuan yang baru saja dikukuhkan sebagai profesor riset ini.
Dalam uji klinis pun setidaknya terdiri dari tiga fase. Pada tahap ketiga, obat sesungguhnya sudah boleh dipasarkan. Meski begitu, tetap saja produk tersebut akan dievaluasi setelah digunakan masyarakat selama beberapa saat.
"Obat yang sudah dipasarkan itu, sama dokter diuji lagi masih layak atau tidak setelah sekian tahun," kata profesor riset yang meraih gelar Magister Kimia Organik dari Universitas Indonesia, Depok ini.
"Ada obat setelah sekian tahun tidak layak lagi. Seperti (obat) malaria itu. Misalnya diproduksi tahun sekian, sepuluh tahun kemudian dia tidak layak lagi karena (parasit) resisten," ujar Jamilah.
Advertisement