Kemenkes: Stigma Memperburuk Status Kesehatan Mereka yang Terkait COVID-19

Stigma negatif terhadap orang-orang yang terkait COVID-19 dinilai bisa memperburuk situasi, termasuk kondisi kesehatan mereka

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 01 Mei 2020, 13:00 WIB
Diterbitkan 01 Mei 2020, 13:00 WIB
Ilustrasi perawat.
Ilustrasi perawat. (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia mengatakan bahwa stigma bagi para pasien dan tenaga kesehatan yang menangani COVID-19 bisa memperburuk kondisi kesehatan mereka.

Pernyataan ini disampaikan oleh Dokter Fidiansjah, spesialis kejiwaan dan Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza Kemenkes dalam konferensi persnya di Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Jakarta pada Jumat (1/5/2020).

Maka dari itu, Fidiansjah meminta masyarakat untuk tidak memberikan stigma negatif bagi para pasien dan tenaga kesehatan yang terkait dengan COVID-19.

"Stigma tidak semata-mata adalah sebuah sikap atau perilaku yang membuat suasana atau individu dalam masyarakat kurang baik," kata Fidiansjah dalam konferensi persnya yang juga disiarkan secara daring.

"Stigma akan menimbulkan marjinalisasi dan akhirnya memperburuk status kesehatan dan tingkat kesejahteraan seseorang," tambahnya.

Simak Juga Video Menarik Berikut Ini

Peran Media Terhadap Stigma

FOTO: Melihat Alat Pendukung Perawatan Pasien di RS Darurat COVID-19
Petugas memeriksa alat pendukung perawatan pasien virus corona COVID-19 di Rumah Sakit Darurat Penanganan COVID-19 di Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, Minggu (22/3/2020). RS Darurat Penanganan COVID-19 dilengkapi dengan ruang isolasi, laboratorium, radiologi, dan ICU. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Fidi menambahkan, para ahli juga mengatakan bahwa stigma punya kontribusi dalam tingginya angka kematian.

Di sini, perlawanan terhadap COVID-19 harus dilakukan secara komprehensif. Fidi mengatakan tidak boleh ada kepanikan dalam masyarakat akibat ketidakpahaman dari informasi yang diberikan.

Dalam pemaparannya, Fidi mengatakan bahwa pemberitaan terkait informasi yang utuh soal penularan virus dan tidak sampai ke masyarakat, sangat berpengaruh pada stigma terhadap orang terkait COVID-19 baik itu orang tanpa gejala, dalam pengawasan, dalam pemantauan, positif, maupun tenaga kesehatan.

"Media berperan penting di dalam hal ini dengan konteks yang kita sebut memberikan komunikasi risiko," kata Fidi.

"Dengan komunikasi risiko maka stigmatisasi dapat kita tekan dan akhirnya media bisa memberikan ulasan yang betul-betul komprehensif, tidak menjadi ulasan yang asimetrik informasi atau informasi yang tidak seimbang sehingga memunculkan ketidaktahuan masyarakat untuk bersikap, dan melakukan tindakan-tindakan yang sepatutnya," ujarnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya