Curhat Nakes Soal Stigma Negatif di Masa Pandemi COVID-19

Di masa pandemi COVID-19, tenaga kesehatan (nakes) tidak hanya dicap sebagai pembawa virus dan hal negatif lainnya oleh sebagian masyarakat.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 10 Jun 2020, 06:00 WIB
Diterbitkan 10 Jun 2020, 06:00 WIB
Aas Hasbi
Aas Hasbi, perawat sekaligus Koordinator Tim Relawan Gugus Tugas PMI Kota Bandung. Foto: Dokumen pribadi Aas Hasbi.

Liputan6.com, Jakarta Di masa pandemi COVID-19, tenaga kesehatan (nakes) kerap mendapat stigma negatif. Mereka tidak hanya dicap sebagai pembawa virus dan hal negatif lainnya oleh sebagian masyarakat, namun, stigma negatif juga timbul terkait dengan BPJS kesehatan.

Aas Hasbi, perawat sekaligus Koordinator Tim Relawan Gugus Tugas PMI Kota Bandung menerangkan bahwa sebagian masyarakat menyalahkan dan menganggap nakes pilih kasih.

“Sebenarnya banyak banget stigma masalah BPJS, kenanya bukan ke pemerintah tapi ke perawat dan nakes lain. Nakes dianggap membeda-bedakan pasien, padahal enggak seperti itu, itu kan kebijakan pemerintah,” ujar Hasbi kepada Health Liputan6.com, (5/6/2020).

Menurutnya, tugas nakes adalah melayani sedang BPJS adalah kewenangan pemerintah. “Kami juga di sini sama sebagai masyarakat, tidak bisa mengambil kebijakan sendiri terkait BPJS.”

Pria usia 24 ini juga menemukan stigma lain terhadap nakes. Ia mendengar ada pernyataan bahwa tenaga medis tidak bekerja optimal padahal memakan uang pemerintah. Masyarakat menganggap tenaga medis mendapatkan gaji lebih selama menangani COVID-19.

“Apa yang dipikirkan masyarakat tidak sesuai realita. Bahkan ada beberapa rumah sakit yang memberi setengah gaji seperti karyawan kantoran lain. Dua minggu kerja, dua minggu istirahat, otomatis gaji dipotong.”

Simak Video Berikut Ini:

Harapan Nakes

Hasbi juga menyinggung tentang pemecatan nakes di RSUD Ogan Ilir, Sumatera Selatan yang menuntut hak mereka terkait Alat Pelindung Diri, rumah singgah, dan kejelasan insentif. Mereka dipecat setelah melakukan aksi mogok kerja.

“Pada kenyataanya nakes hanya meminta hak dan perlindungan mereka. Namun, dengan pemecatan yang dilakukan, pandangan sebagian masyarakat malah menganggap bahwa para nakes lemah dan tak mau menangani pasien COVID-19.”

Terlepas dari berbagai stigma yang didapat, ia berharap agar pandemi ini menjadi pelajaran untuk mengangkat derajat para perawat. Mengingat sebelum UU Keperawatan tahun 2014 muncul, perawat dipandang sebagai pembantu dokter. Padahal, perawat adalah mitra dokter dan keduanya saling membutuhkan.

“Harapannya, masyarakat lebih menghargai satu sama lain, saya tidak berbicara tentang menghargai tim medis, tapi hargai sebagai sesama manusia. Kita hadapi pandemi ini dengan damai.”

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya