Masa-Masa Anak Bentuk Identitas Diri, Orangtua Bisa Jadi Sahabat

Masa-masa membentuk identitas diri perlu peran orangtua yang menjadi sahabat anak.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 26 Jul 2020, 13:00 WIB
Diterbitkan 26 Jul 2020, 13:00 WIB
Orangtua
Masa-masa membentuk identitas diri perlu peran orangtua yang menjadi sahabat anak. Ilustrasi Anak dan Orangtua Credit: pexels.com/KetutS

Liputan6.com, Jakarta Masa-masa membentuk identitas diri pada anak menjadi momen yang perlu diketahui orangtua. Apalagi pada anak yang memasuki usia remaja. Stres, cemas, dan permasalahan pertemanan bisa terjadi pada anak.

Melihat situasi tersebut, praktisi psikolog anak dan remaja Alzena Masykouri menyampaikan, orangtua dapat menjadi sahabat bagi anak. Orangtua berperan mencari pengetahuan seluas-luasnya untuk memahami anak.

"Remaja itu sering merasa stres, cemas, dan depresi pada remaja. Hal ini bisa diatasi ketika kita sudah paham dan punya pengetahuan mengenai hal-hal yang membuat kita cemas juga depresi," terang Alzena saat sesi webinar Kesehatan Reproduksi Anak Remaja, ditulis Minggu (26/7/2020).

"Terlebih lagi masalah pertemanan dan sosialisasi, yang bisa membuat dia (remaja) merasa tertekan, tidak nyaman, mengurung diri di dalam kamar, tidak melakukan aktivitas fisik, tidak keluar kamar dan tidak berinteraksi dengan orang lain."

Saksikan Video Menarik Berikut Ini:

Masalah Kesehatan Mental

mogok sekolah
Masalah kesehatan mental anak. Anak sedih jika dimarahi/copyright: unsplash/janko ferlic

Peran orangtua adalah membimbing anak. Ajarkan cara menyelesaikan permasalahan pada anak, sehingga anak dapat memilih lingkungan pertemanan yang baik. Komunikasi sehari-hari pun dapat dilakukan orangtua pada anak.

"Secara mental, remaja perlu mengenali pencetus (penyebab) stres. Jadi, apa aja sih yang membuat dia stres. Kemudian bagaimana bisa mengelola cemas dan stresnya. Kenali tanda-tanda depresi ini dan apa sih yang perlu diperhatikan ketika terjadi perubahan emosi," lanjut Alzena.

"Orangtua bisa sering ngobrol atau perhatikan raut wajah anak. Kalau anak berubah jadi murung, sering nangis, lantas lemas dan tidak bersemangat. Belum lagi hal-hal yang menunjukkan perubahan suasana emosi secara drastis dan sulit konsentrasi mengerjakan sesuatu. Maka, anak mengalami masalah dengan kesehatan mental."

Anak yang mengalami masalah kesehatan mental juga dapat dilihat dari perubahan pola makan atau berat badan serta gangguan tidur.

"Yang tadinya anak makan banyak, berubah jadi makannya sangat sedikit atau sebaliknya justru makin banyak makan ya. Kemudian ada gangguan tidur. Kalau orang ketika malam tidur, anak bisa saja malah terjaga saat malam hari. Nah, gangguan tidur yang terjadi secara secara intensif dan dalam jangka waktu kurang lebih sekitar dua pekan, itu mungkin menunjukkan ada masalah di kondisi psikologisnya," tambah Alzena.

 

 

 

Tanggungjawab terhadap Tubuhnya Sendiri

anak bahagia
Anak tanggungjawab terhadap dirinya. ilustrasi anak hujan/copyright By A3pfamily (Shutterstock)

Pada masa-masa anak mencari identitas diri, orangtua juga perlu punya pengetahuan agar anak bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri, terutama memasuki pubertas. Pengetahuan seputar kesehatan reproduksi dapat diberikan.

"Peran orangtua juga harus punya pengetahuan untuk diajarkan dan dilatih kepada anak, yakni sejak anak usia 10 tahun. Jadi, anak harusnya sudah bisa mulai merawat dirinya sendiri. 'Aku punya anggota tubuh apa aja sih.' Membicarakan payudara, misalnya dan anggota tubuh lain," Alzena melanjutkan.

"Ini termasuk langkah awal dengan mulai memerhatikan kesehatan atau merawat tubuhnya sendiri. Jadi, enggak langsung diajarkan atau dikasih tahu tentang ovarium, testis, dan segala macam. Lebih fokus tentang cara merawat dirinya sendiri."

Mulai merawat tubuh sendiri akan sangat membantu anak dan remaja bisa mengenali tubuhnya. Selanjutnya, anak memiliki kesadaran bahwa dia bertanggung jawab terhadap tubuhnya sendiri dan fungsi kesehatan reproduksi. 

"Semua ini dikomunikasikan dan harus dibicarakan antara orang dewasa (orangtua) dengan remaja. Caranya ngobrol diskusi. Jadi, bukan menggurui, terus hanya berucap, ini tidak boleh, itu tidak boleh," tambah Alzena.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya