Liputan6.com, Jakarta - Hasil uji keterpaparan yang diambil dari 5.000 responden lebih menunjukkan sebanyak 9 dari 10 responden Klinik Misinformasi terpapar berita bohong dan menyesatkan. Temuan ini merupakan gambaran dari banyaknya misinformasi yang beredar selama pandemi COVID-19.
Responden dari kuis edukatif ini secara umum menggambarkan para pengguna media sosial di Indonesia dari berbagai kategori usia, tingkat pendidikan dan dan geografis.
Baca Juga
Infodemi adalah tumpah ruahnya beragam informasi yang kebanyakan di antaranya tidak benar atau tidak dapat diverifikasi. Badan Kesehatan Dunia (WHO) mensejajarkan bahaya infodemi dengan pandemi karena informasi yang salah dan tidak akurat akan berpengaruh besar pada kesehatan dan pengambilan keputusan masyarakat dalam menghadapi pandemi COVID-19.
Advertisement
Dokter Spesialis Paru Jaka Pradipta, mengatakan, “Hoaks yang beredar di masyarakat menyasar pada isu pencegahan dan pengobatan COVID-19. Membaca dan mendengar berita yang tidak terklasifikasi bisa menyebabkan seseorang keliru dalam mengambil tindakan pencegahan, sehingga membahayakan kesehatan dirinya dan orang lain, atau bahkan terlambat mendapatkan penanganan medis” kata Jaka dalam keterangan pers (29/8/2020).
“Jadi, masyarakat perlu sangat waspada dengan berita seperti klaim penemuan obat dan pencegahan COVID-19 yang tidak didukung dengan bukti ilmiah,” tambahnya.
Simak Video Berikut Ini:
Upaya Mencegah Penyebaran Misinformasi
Untuk mengajak masyarakat waspada dan mengambil peran dalam mencegah penyebaran misinformasi COVID-19 di media sosial dan aplikasi pesan instan, Klinik Misinformasi melakukan berbagai kampanye dan edukasi bersama mitra.
Selain itu, Klinik Misinformasi juga menghadirkan sebuah seri stiker WhatsApp yang dapat diunduh secara gratis di tautan https://bit.ly/StickerAntiHoax. Produk kreatif ini merupakan kerjasama Klinik Misinformasi dengan illustrator muda @shirohyde sebagai upaya untuk memberikan dukungan kepada generasi muda untuk berani bersuara dan mengajak keluarga terdekat, komunitas dan lingkungan mereka menghindarkan penyebaran berita bohong dan menyesatkan.
Bentang Febrylian, Pemeriksa Fakta dari Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), mengungkapkan, “informasi yang menyesatkan telah menjadi bagian dari dinamika bermedia sosial, dan temuan bahwa 90 persen responden Klinik Misinformasi telah terpapar infodemi mengkonfirmasi tingkat keterpaparan masyarakat Indonesia yang sangat tinggi terhadap misinformasi,” katanya.
“Selama pandemi, Mafindo menemukan lebih dari 500 hoaks terkait COVID-19 yang beredar di masyarakat. Maka dari itu dibutuhkan keseriusan dari pemerintah, elemen masyarakat, dan media massa untuk bersama meredam infodemi. Tentunya hal tersebut juga harus diikuti oleh kesadaran masyarakat akan pentingnya berpikir kritis.”
Temuan lain dari responden Klinik Misinformasi, dalam segi usia, tingkat keterpaparan paling tinggi terjadi pada kelompok usia di atas 54 tahun, dengan jumlah responden yang terpapar misinformasi mencapai 100 persen. Kategori usia dengan paparan tingkat tinggi lainnya adalah pengguna media sosial di rentang usia 0-17 tahun di mana tingkat keterpaparan mencapai 94 persen.
“Untuk mengurangi penyebaran hoaks di media sosial dan platform mainstream, dibutuhkan sikap kritis terdapat informasi apapun yang didapatkan. Kita perlu mempertanyakan validitas informasi tersebut sehingga dapat mencegah penyebarannya. Mari kita sadari bahaya penyebaran infodemi dan berkontribusi dengan menjadi ‘polisi’ di grup WhatsApp atau bahkan bersuara di media sosial kita dengan turut menyebarkan konten positif”, tutup Yosi Mokalu, artis dan penggiat Gerakan Siberkreasi.
Advertisement