Liputan6.com, Jakarta Meski gejala COVID-19 terlalu umum pada awalnya, kini para ahli semakin jelas melihat gejala pada pasien virus Corona.
Dari studi yang diterbitkan di Annals of Clinical and Translational Neurology, peneliti menemukan bahwa terdapat lebih dari 80 persen pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit juga mengalami beberapa jenis manifestasi neurologis.
Baca Juga
Penelitian ini membuahkan hasil setelah para ahli mengambil sampel dari 509 pasien yang dirawat di salah satu rumah sakit di Chicago. Para peneliti menemukan, 419 dari mereka menunjukkan masalah neurologis di suatu waktu selama masa infeksi COVID-19.
Advertisement
“Manifestasi neurologis yang paling sering adalah mialgia, sakit kepala, ensefalopati (penyakit yang memengaruhi fungsi atau struktur dari otak), pusing, dysgeusia (gangguan indera perasa) dan anosmia (hilangnya penciuman). Stroke, gangguan gerakan, motorik, dan defisit sensorik, ataksia (gangguan neurologis pada otak yang mengganggu sistem keseimbangan dan koordinasi fungsi), dan kejang jarang terjadi,” ujar peneliti, seperti dikutip Foxnews.
Para pasien yang terlibat dalam penelitian tersebut dirawat di Northwestern Medicine Healthcare system antara 5 Maret dan 6 April, dan semuanya telah didiagnosis dengan COVID-19.
Tim mencatat gejala neurologis pada pasien COVID-19 berdasarkan tinjauan catatan klinis, studi diagnostik, dan diagnosis yang didokumentasikan oleh dokter yang diambil selama pasien dirawat di rumah sakit. Usia pasien berkisar antara 16,9 tahun hingga 58,5 tahun, dan 134 memerlukan ventilasi mekanis selama mereka dirawat.
Penelitian masih terbatas
Para peneliti mencatat bahwa pasien dengan gejala neurologis mengalami lebih lama tinggal di rumah sakit dibandingkan mereka yang tidak mengalami gejala neurologis. Tetapi hasil fungsional dan mortalitas atau kematian tidak berbeda secara signifikan antara mereka yang mengalami gangguan neurologis maupun yang tidak mengalaminya. Mereka juga menemukan bahwa mereka yang mengalami masalah neurologis ternyata lebih muda daripada mereka yang tidak mengalaminya.
“Fakta bahwa manifestasi neurologis secara keseluruhan lebih mungkin terjadi pada orang yang lebih muda mengejutkan, dan potensinya dapat dijelaskan dengan penekanan klinis yang lebih besar pada risiko kegagalan pernapasan dibandingkan gejala lain pada pasien yang lebih tua,” catat penulis penelitian.
“Alternatifnya, manifestasi neurologis awal seperti mialgia, sakit kepala, atau pusing mungkin telah mendorong perawatan medis lebih awal. Sebaliknya, ensefalopati lebih sering terjadi pada pasien yang lebih tua."
Para penulis juga mengakui bahwa penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, termasuk kurang dari 6% pasien yang dievaluasi oleh ahli saraf, dirawat di bawah kendali infeksi yang ketat, dan bahwa datanya retrospektif. Namun, mereka mengatakan data tersebut memberikan pandangan yang lebih umum tentang gejala neurologis yang harus dieksplorasi lebih lanjut.
"Hanya 9 bulan setelah pandemi, efek jangka panjang COVID-19 pada sistem saraf tetap tidak pasti. Dari hasil penelitian kami, menunjukkan kalau dari semua manifestasi neurologis, ensefalopati dikaitkan dengan hasil fungsional yang lebih buruk pada pasien rawat inap dengan COVID-19. Bahkan mungkin memiliki efek yang bertahan lama," tulis peneliti.
Sehingga para peneliti menyerukan tindak lanjut jangka panjang pada pasien dengan gejala ini. Selain itu, mereka juga menekankan bahwa rehabilitasi yang berfokus pada kognitif dan neurologis berpotensi memiliki peran yang signifikan dalam pemulihan.
Advertisement