WHO: Strategi Herd Immunity dengan Membiarkan COVID-19 Menyebar Bermasalah Secara Ilmiah dan Etika

WHO mengatakan, herd immunity harusnya dicapai dengan melindungi orang dari virus, bukan membuat mereka terpapar virus

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 13 Okt 2020, 10:00 WIB
Diterbitkan 13 Okt 2020, 10:00 WIB
WHO Umumkan Virus Corona Pandemi Global
Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus berbicara dalam sebuah konferensi pers di Jenewa, 11 Maret 2020. WHO menyatakan wabah COVID-19 dapat dikategorikan sebagai "pandemi" karena virus tersebut telah menyebar semakin luas ke seluruh dunia. (Xinhua/Chen Junxia)

Liputan6.com, Jakarta Direktur Jenderal World Health Organization (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan bahwa strategi herd immunity atau kekebalan kawanan dengan membiarkan virus menyebar bukan pilihan yang etis untuk mengatasi COVID-19. Sebaliknya, kekebalan kawanan adalah konsep yang digunakan dalam vaksinasi.

"Herd immunity merupakan konsep yang digunakan untuk vaksinasi, di mana suatu populasi dapat terlindungi dari virus tertentu jika ambang batas vaksinasi tercapai," kata Tedros dalam konferensi pers virtual, dikutip dari laman resmi WHO pada Selasa (13/10/2020).

Tedros mencontohkan, kekebalan kawanan terhadap campak membutuhkan 95 persen masyarakat yang divaksinasi sehingga, 5 persen di antara mereka terlindungi karena penyakit itu tak akan menyebar di antara orang yang diberi vaksin. Sementara untuk polio, ambangnya sekitar 80 persen.

"Dengan kata lain, kekebalan kawanan dicapai dengan melindungi orang dari virus, bukan membuat mereka terpapar virusnya," kata Tedros.

"Tidak pernah dalam sejarah kesehatan masyarakat, kekebalan kawanan digunakan sebagai strategi untuk menanggapi wabah, dengan membiarkan pandemi. Ini bermasalah secara ilmiah dan etika."

 

** #IngatPesanIbu

Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.

Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.

 

Simak Juga Video Menarik Berikut Ini

Respon Kekebalan Belum Diketahui Penuh

FOTO: Kasus Corona COVID-19 Global Tembus 2 Juta Pasien
Pengendara sepeda melewati grafiti bertema virus corona COVID-19 yang bertuliskan ‘Happy Easter’ pada dinding di Hamm, Jerman, Senin (13/4/2020). Kasus COVID-19 tertinggi di dunia ditempati oleh Amerika Serikat, Spanyol, Italia, Prancis, Jerman, dan China. (AP Photo/Martin Meissner)

Tedros pun menjelaskan beberapa alasan mengapa kekebalan kawanan bukan pilihan tepat untuk menangani pandemi. Yang pertama adalah para ilmuwan belum cukup tahu tentang kekebalan terhadap COVID-19.

"Kebanyakan orang yang terinfeksi virus penyebab COVID-19 mengembangkan respon kekebalan dalam beberapa pekan pertama, tetapi kita tidak tahu seberapa kuat atau bertahannya respon kekebalan itu, atau bagaimana perbedaannya untuk orang yang berbeda. Kita punya beberapa petunjuk, tetapi kita belum memiliki gambaran lengkap."

Selain itu, ada juga beberapa kasus di mana orang terinfeksi COVID-19 untuk kedua kalinya.

Kedua, sebagian besar masyarakat di sebagian besar negara tetap rentan terhadap virus ini. Survei seroprevalensi menunjukkan bahwa di sebagian besar negara, kurang dari 10 persen populasi telah terinfeksi.

"Oleh karena itu membiarkan virus bersirkulasi tanpa terkendali berarti membiarkan infeksi, penderitaan, dan kematian yang tidak perlu," kata mantan menteri kesehatan Ethiopia tersebut.

 

Dampak Kesehatan Jangka Panjang

Tedros Adhanom Ghebreyesus (tengah), direktur jenderal Organisasi Kesehatan Dunia, berbicara pada konferensi pers tentang pembaruan COVID-19, di kantor pusat WHO di Jenewa, Swiss.
Tedros Adhanom Ghebreyesus (tengah), direktur jenderal Organisasi Kesehatan Dunia, berbicara pada konferensi pers tentang pembaruan COVID-19, di kantor pusat WHO di Jenewa, Swiss.(Salvatore Di Nolfi/Keystone via AP)

Tedros menambahkan, meski orang tua dan dengan komorbid paling berisiko mengalami gejala berat dan kematian, mereka bukan satu-satunya yang berisiko mengingat banyak kasus dari segala usia yang berujung kematian.

Ketiga, Tedros juga mengatakan bahwa saat ini mulai ditemukan dampak kesehatan jangka panjang dari orang yang pernah terinfeksi COVID-19.

Ia mengatakan telah bertemu beberapa pasien yang mengalami 'Long COVID' untuk mengetahui kesulitan mereka dan apa yang dibutuhkan sehingga bisa segera dilakukan penelitian lanjutan serta rehabilitasi.

"Membiarkan virus berbahaya yang tidak sepenuhnya kita pahami untuk bebas adalah tidak etis. Itu bukan pilihan."

Infografis Ayo Jaga dan Tingkatkan Imunitas Tubuh

Infografis Ayo Jaga dan Tingkatkan Imunitas Tubuh. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Ayo Jaga dan Tingkatkan Imunitas Tubuh. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya