Waspada Kekerasan Seksual di Lingkungan Kerja dan Institusi Pendidikan

Ciri kekerasan seksual yang paling sering terjadi di lingkungan kerja dan instusi pendidikan adalah Quid Pro Quo.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 02 Des 2020, 22:00 WIB
Diterbitkan 02 Des 2020, 22:00 WIB
Ilustrasi kekerasan seksual di kampus
Ilustrasi Ilustrasi kekerasan seksual di kampus Image by Juraj Varga from Pixabay

Liputan6.com, Jakarta - Kekerasan seksual dapat terjadi di mana saja tak terkecuali di lingkungan kerja dan institusi pendidikan. Salah satu ciri kekerasan seks yang paling sering terjadi di lingkungan tersebut adalah Quid Pro Quo.

Quid Pro Quo memiliki arti 'ini untuk itu'. Biasanya, kekerasan seksual ini dilakukan oleh atasan ke bawahan. Misalnya, dari dosen ke mahasiswa atau dari bos ke sekretaris.

“Korban ditawari manfaat sebagai balasan atas perilaku seksual yang tidak diinginkan,” kata Psikolog Klinis dari Yayasan Pulih, Noridha Weningsari, dalam webinar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) belum lama ini.

Manfaat yang ditawarkan pelaku pada korban kekerasan seksual, lanjut Noridha, biasanya terkait nilai bagus, kenaikan jabatan, atau kenaikan gaji.

Seseorang yang memiliki kekuasaan membuat keputusan dan imbalan tertentu bagi korban kekerasan seksual sebagai bayaran dari perilaku seks yang dikerjakan.

“Ini memang lebih kental di dunia kerja dan institusi pendidikan," kata Noridha.

Simak Video Berikut Ini:

Bingung Tentang Persetujuan

Setelah terjadi kekerasan seksual tersebut, korban acap kali bingung jika ingin menyalahkan pelaku. Pasalnya, korban merasa sudah memberi persetujuan terkait hubungan seksual tersebut.

Persetujuan sendiri memiliki arti mampu memutuskan dengan bebas ketika akan melakukan atau terlibat dalam aktivitas seksual.

“Jika tertekan secara fisik dan psikis atau mengikuti karena merasa tidak memiliki pilihan atau tidak tahu cara keluar atau lepas dari situasi tersebut maka sebenarnya korban tidak memberikan persetujuan.”

Persetujuan hanya bisa diberikan oleh seseorang jika orang tersebut tidak dalam kondisi tertekan. Jika korban diajak ke sebuah kamar kemudian timbul rasa tertekan dan tidak tahu cara keluar dari situasi tersebut maka persetujuan yang diberikan sifatnya terpaksa.

“Ini seharusnya tidak masuk dalam konteks persetujuan.”

Noridha menambahkan, jika hal ini terjadi pada anak di bawah usia 18 tahun maka ada atau tidaknya persetujuan tetap dinilai sebagai kekerasan seksual.

Infografis Kekerasan dalam Pacaran

Infografis Kekerasan dalam Pacaran
Infografis Kekerasan dalam Pacaran (liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya