Proses Pembuktian Sulit, Salah Satu Kendala Penanganan Kasus Kekerasan Seksual dalam Pacaran

Tingginya angka pacaran di Indonesia turut menaikkan potensi kekerasan seksual dalam pacaran. Berbagai masalah penyerta pun dapat timbul dalam proses penanganan kasusnya.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 14 Des 2020, 21:35 WIB
Diterbitkan 14 Des 2020, 21:35 WIB
Proses Pembuktian yang Sulit Jadi Kendala Penanganan Kasus Kekerasan Seksual dalam Pacaran
Ilustrasi Proses Pembuktian yang Sulit Jadi Kendala Penanganan Kasus Kekerasan Seksual dalam Pacaran. (Sumber Pixabay)

Liputan6.com, Jakarta Tingginya angka pacaran di Indonesia turut menaikkan potensi kekerasan seksual dalam pacaran. Berbagai masalah penyerta pun dapat timbul dalam proses penanganan kasusnya.

Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2017, 81 persen pemudi dan 84 persen pemuda sudah berpacaran. Bahkan, mereka mulai berpacaran rata-rata sejak usia 10 hingga 17 tahun.

Menurut ahli hukum dari Universitas Indonesia Dr. Lidwina Inge Nurtjahyo, S.H., M.Si, jika terjadi kekerasan seksual dalam pacaran (KDP) maka proses hukumnya dapat dihadang oleh beberapa kendala.

Kendala pertama yang dapat dirasakan adalah pada proses pembuktian. Berbeda dengan kasus kekerasan dalam rumah tangga, kasus KDP cenderung sulit dibuktikan.

“Kalau dalam kekerasan dalam rumah tangga membuktikan hubungan pelaku dan korban lebih mudah karena dokumen-dokumennya tersedia seperti buku nikah dan akta perkawinan,” ujar Lidwina dalam webinar Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) ditulis Senin (14/12/2020).

“Kalau dalam pacaran kan sulit untuk membuktikan hubungan berpacaran itu, yang ada malah kalau terbukti adanya hubungan pacaran sering kali aparat penegak hukum justru menuduh suka sama suka.”

Simak Video Berikut Ini:

Persoalan Dasar Hukum

Selain kendala dalam pembuktian ada pula kendala dasar hukum. Menurut Lidwina, hingga kini belum tersedia dasar hukum yang cukup kuat untuk memberi pemberatan kalau hubungannya adalah pacaran.

“Karena justru dari hubungan pacaran ini korban mudah dimanipulasi dengan ketergantungan psikologisnya, dengan  kebutuhan emosionalnya, dan sebagainya.”

Masalah selanjutnya adalah perlu adanya penguatan dalam prosedur penanganan satu pintu. Sejauh ini, penanganan lebih menitikberatkan pada pelaku bukan korban.

Dalam kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (UHAP) pendampingan hanya diberikan kepada pelaku, terdakwa, atau tersangka. Sedang, pada korban belum diatur sama sekali masalah pendampingan, konseling, bahkan belum disebutkan juga tentang pendampingan hukum.

“Masalah lainnya adalah perspektif aparat penegak hukum dan masyarakat yang cenderung menyalahkan korban.”

“Jadi justru kalau ketahuan pacaran yang diungkitnya itu malah masalah sukarela. Padahal, bisa saja walau korban menyayangi pelaku tapi tindakan itu sebenarnya tidak dikehendaki korban,” tutupnya.

Infografis Kekerasan dalam Pacaran

Infografis Kekerasan dalam Pacaran
Infografis Kekerasan dalam Pacaran (liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya