Liputan6.com, Jakarta - Terapi plasma konvalesen tengah ramai dibacarakan karena disebut mampu membantu pasien COVID-19 untuk memperbesar kemungkinannya sembuh. Plasma konvalesen juga disebut mampu menurunkan risiko terjadinya gangguan pernapasan berat atau severe respiratory disease yang merupakan salah satu penyebab kematian tersering COVID-19.
Peneliti terapi plasma konvalesen di RSUP dr Sardjito Yogyakarta, dr Johan Kurnianda menjelaskan, terapi ini dapat dipahami sebagai transfer antibodi antara penyintas suatu infeksi kepada orang yang sedang menghadapi infeksi, dalam kasus ini, adalah infeksi COVID-19.
Baca Juga
Namun, tidak semua penyintas dapat mendonorkan plasma konvalesennya. Terdapat beberapa kriteria yang harus dipenuhi, seperti berusia 17-60 tahun, tidak memiliki penyakit penyerta, sudah sembuh dari COVID-19 selama minimal 14 hari, negatif dari virus lain, dan kadar antibodinya cukup.
Advertisement
Johan menyebut, terapi plasma konvalesen bukan sesuatu yang baru, melainkan pernah diterapkan pada wabah-wabah yang pernah terjadi sebelumnya.
"Dulu ada wabah Ebola, Mers, Sars, lalu juga H1N1, Influenza, itu kan plasma konvalesen pernah dipakai, dan untuk H1N1 pada tahun 2009 terbukti memperbaiki outcome dari penderita, dan mengurangi angka kematian," ujar Johan dalam diskusi secara daring yang digelar SONJO, gerakan kemanusiaan di Yogyakarta, (20/12/2020).
Salah seorang pasien COVID-19 bernama Usman Effendi telah melakukan terapi ini saat dirinya dirawat di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta. Usman mengaku saat itu kondisinya cukup parah, dan dokter yang merawatnya menawarkan Usman untuk malakukam terapi plasma konvalesen.
"Namun karena kesadaran saya saat itu harus konsentrasi, jadi keputusan diserahkan ke keluarga saya, apabila dianggap baik dan aman, silakan," ujar Usman dalam diskusi yang sama.
Usman mengaku menerima donor plasma konvalesen sebanyak dua kali. "Yang pertama saya terima saat kondisi saya naik turun, padahal sudah menggunakan gas asam yang tertinggi, sebelum ventilator. Cukup meneganggkan juga saat itu,
Pemberian plasma konvalesen ke Usman disebutnya dilakukan di malam hari, sebelum ia tidur. Waktu tersebut dipilih agar Usman lebih tenang dan tingkat saturasinya tidak mengalami perubahan mendadak.
“Setelah didonorkan, saya rasakan satu dua jam pertama tidak terasa. Enam jam berikutnya, saya melihat ada perkembangan dimana saturasi saya lebih stabil, kemudian katanya indikasi kesehatan lainnya menunjukkan perbaikan,” ujar Usman.
Setelah menerima suntikan pertama plasma konvalesen, hampir setiap pagi Usman akan diambil sampel darahnya oleh petugas medis untuk melihat perkembangan kesehatan Usman.
Saksikan Juga Video Menarik Berikut Ini
Kesehatan Meningkat Setelah Pemberian Plasma Konvalesen Kedua
Saat pemberian plasma konvalesen yang kedua, Usman mengaku perkembangan kesehatannya meningkat pesat.
"Progresnya langsung bagus, data-data kesehatan juga bagus, akhirnya Alhamdulillah bisa melalui masa-masa sulit, dan keluar dari ICU."
Beberapa hari kemudian setelah menjalani tes usap sebanyak dua kali, hasil menunjukkan Usman negatif COVID-19, dan dinyatakan sebagai penyintas COVID-19.
Usman pun sempat merencanakan untuk menjadi pendonor plasma konvalesen. Namun, petugas medis menyatakan bahwa orang yang pernah menerima plasma konvalesen saat terpapar COVID-19, tidak dapat mendonorkan plasma konvalesennya.
Wijan tergolong pasien yang beruntung karena berhasil mendapatkan terapi ini, karen diketahui permintaan pasien COVID-19 terhadap terapi plasma konvalesen diketahui sangat tinggi, tidak sebanding dengan jumlah penyintas yang rela mendonorkan plasmanya untuk terapi ini.
Bahkan pada 12 Januari lalu, Palang Merah Indonesia (PMI) wilayah DKI Jakarta dan beberapa wilayah lainnya menyatakan stok untuk plasma konvalesen kosong.
Usman pun mengingatkan bahwa plasma konvalesen saat ini sangat dibutuhkan oleh banyak pasien COVID-19 di Indonesia. Ia mendorong para penyintas COVID-19 yang memenuhi kriteria, dapat mendonorkan plasma konvalesennya.
Sementara itu, anggota peneliti terapi plasma konvalesen lainnya di RSUP dr Sardjito Yogyakarta, Teguh Triyono mengatakan, ada tiga pertimbangan penerapan terapi ini. Ketiganya adalah keselamatan pasien, kemanfaaan atau efikasinya dan keamanan donornya.
“Donor itu bisa memberikan darahnya sampai kapan? Sebetulnya tidak hanya dalam enam bulan setelah sembuh. Kalau memang donor ini memiliki antibodi yang cukup optimal, sampai lebih dari tujuh bulan boleh,” ujar Teguh.
(Penulis: Rizki Febianto)
Advertisement