Liputan6.com, Jakarta - Berbagai upaya menekan kasus COVID-19 telah dilakukan, tapi beberapa upaya belum berjalan dengan maksimal. Salah satunya isolasi mandiri dan pemisahan antara yang negatif dan yang positif COVID-19.
Hal ini disampaikan Co-Founder Kawal COVID-19 Elina Ciptadi. Menurutnya, isolasi mandiri yang tidak maksimal berkaitan dengan ketersediaan rumah atau tempat untuk melakukan karantina.
Baca Juga
“Pada dasarnya yang positif dan negatif harus dipisahkan dan tidak semua orang di Indonesia punya rumah yang memadai untuk melakukan isolasi mandiri dengan benar,” ujar Elina kepada Health Liputan6.com melalui sambungan telepon, Selasa (26/1/2021).
Advertisement
“Katakanlah rumahnya ada pun belum tentu di rumahnya itu mereka mau menjalankan protokol. Jadi memang lebih baik isolasi itu terpisah saja,” Elina menambahkan.
Elina menyarankan pemerintah untuk melakukan kerja sama dengan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) guna penyediaan tempat isolasi mandiri. Mengingat, sekarang ini hotel-hotel di beberapa kota terbilang sepi.
“Sekarang hotel-hotel sepi, kerja samalah dengan PHRI untuk dijadikan tempat karantina sementara. Wisma, penginapan, asrama, itu semua bisa dijadikan tempat karantina," katanya.
** #IngatPesanIbu
Pakai Masker, Cuci Tangan Pakai Sabun, Jaga Jarak dan Hindari Kerumunan.
Selalu Jaga Kesehatan, Jangan Sampai Tertular dan Jaga Keluarga Kita.
Simak Video Berikut Ini
Penyebab Lainnya
Selain isolasi mandiri yang tidak maksimal, ada beberapa hal yang turut memengaruhi tingginya kasus COVID-19 di Indonesia. Salah satunya positivity rate yang tinggi.
“Ini berarti penularan COVID-19 di masyarakat menjadi lebih cepat dan masih ada kasus yang belum terdeteksi. Jumlah tes yang sedikit dan jumlah kasus yang menjadi lebih banyak membuat upaya tracing menjadi lebih sulit,” katanya.
Di sisi lain, protokol Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebut bahwa hanya orang bergejala yang akan dites. Sedang, orang tanpa gejala (OTG) harus menjalani tes mandiri.
“Tapi tidak semua orang mau tes mandiri, akhirnya mereka tidak tahu dan tetap beraktivitas dan menulari orang-orang yang mereka temui.”
Kasus-kasus OTG masih banyak yang belum terdeteksi karena pedoman dari Kemenkes pada Juli lalu mengatakan bahwa yang dites adalah kontak erat yang bergejala atau suspek yang bergejala.
“Jadi sebenarnya PR testing kita saja belum selesai sejak Maret tahun lalu.”
Ia menambahkan, di Indonesia sendiri, kasus COVID-19 belum ada tanda-tanda melandai, apalagi menurun.
“Indonesia adalah satu dari sedikit sekali negara yang hampir satu tahun menangani pandemi dan kurva gelombang pertamanya ini masih naik terus,” tutupnya.
Advertisement