Wamenkes: Dana Hasil Konsumsi Rokok Bukan Sumber Pendanaan yang Baik Bagi Kesehatan

Menurut Wamenkes, pajak rokok harus dimanfaatkan daerah untuk menurunkan prevalensi perokok di usia muda, atau peningkatan kampanye anti rokok

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 30 Apr 2021, 21:00 WIB
Diterbitkan 30 Apr 2021, 21:00 WIB
Wakil Menteri Kesehatan RI Dante Saksono Harbuwono
Wakil Menteri Kesehatan RI Dante Saksono Harbuwono dalam Rapat Koordinasi Pimpinan Persiapan Vaksinasi COVID-19 pada 23 Desember 2020. (Dok Kementerian Kesehatan RI)

Liputan6.com, Jakarta Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Dante Saksono Harbuwono mengatakan, dana yang didapat dari hasil konsumsi rokok harus dimanfaatkan untuk membantu mengoptimalisasi layanan kesehatan dan menurunkan prevalensi perokok itu sendiri.

"Dana yang dihasilkan dari konsumsi rokok untuk saat ini kita anggap sebagai denda yang harus dialirkan untuk pelayanan kesehatan," kata Wamenkes pada Kamis (29/4/2021).

Menurut Wamenkes, Undang-Undang nomor 28 tahun 2009, Peraturan Menteri Keuangan nomor 7 tahun 2020, dan Peraturan Menteri Kesehatan nomor 53 tahun 2017 telah disusun demi memanfaatkan pajak rokok daerah untuk pendanaan pembiayaan kesehatan dan lain-lain.

"Kendati demikian kita tentu tidak bisa beranggapan dana ini merupakan suatu sumber funding yang baik bagi kesehatan," kata Wamenkes dalam Dialog Publik: Pemanfaatan Pajak Rokok Daerah (PRD) dan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT).

Wamenkes menyebut bahwa saat ini, prevalensi perokok di Indonesia mencapai 33,8 persen atau sekitar 65,7 juta penduduk. "Peningkatan konsumsi rokok adalah ancaman serius bagi kualitas sumber daya manusia," katanya.

Selain itu di tahun 2018, Wamenkes melaporkan bahwa perokok usia 10 sampai 18 tahun meningkat hingga mencapai 9,1 persen. "Hampir 1 dari 10 anak di Indonesia merokok," ungkapnya.

Simak Juga Video Menarik Berikut Ini

Manfaatkan untuk Turunkan Prevalensi Perokok

Ilustrasi rokok/dok. Pascal Unsplash
Ilustrasi rokok/dok. Pascal Unsplash

Menurut Dante, tingginya perokok di usia anak dan remaja terjadi karena masifnya paparan iklan, promosi, serta sponsorship rokok.

Dante pun mengatakan bahwa dana yang dihasilkan dari konsumsi rokok harus dialokasikan dan dioptimalkan oleh daerah untuk membantu program menurunkan prevalensi perokok usia 10 hingga 18 tahun.

Selain itu, Wamenkes juga mengatakan bahwa program PRD dan DBHCHT harus disusun efektif misalnya dengan membuka lapangan kerja baru bagi petani tembakau agar tidak tergantung dengan tembakau.

"Atau peningkatan kuantitas dan kualitas kampanye rokok yang inovatif dan menyentuh bagi remaja," kata Wamenkes.

Selain itu, Wamenkes mengatakan bahwa program PRD dan DBHCHT harus diangkat secara masif di 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota di Indonesia.

"Pemanfaatan dana pelayanan kesehatan penting, namun lebih penting lagi bagaimana agar dana tersebut dialokasikan untuk terapi konseling berhenti merokok.

"Bila perlu ada pelacakan dan pendanaan khusus bagi peserta asuransi JKN maupun swasta yang merokok, untuk diintervensi dini," pungkasnya.

Infografis Pro-Kontra Larangan Iklan Rokok di Internet

Infografis Pro-Kontra Larangan Iklan Rokok di Internet
Infografis Pro-Kontra Larangan Iklan Rokok di Internet. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya